Jujur tentang keuangan? Pernahkah
kita benar-benar jujur tentang uang? Saya tidak yakin kalau kita bisa sejujur
itu. Dalam satu keluarga aja belum tentu. Tidak ada yang mengaku siapa yang
masih punya uang—apalagi kalo misalnya itu uang tabungan untuk beli sesuatu
atau uang simpenan.
Saat Umi mau pinjam uang untuk
kembalian, jarang ada yang langsung menawarkan, kecuali Umi dengan jelas bilang
“De, pinjem sepuluh buat kembalian.” Si sodara yang uangnya aman bisa bernapas
lega. Setelah itu, Umi akan ngasih uang satu lembar warna biru, sambil bilang
“buat ongkos” atau “buat pegangan.” Tapi gak jarang juga Umi lupa. Tapi intinya
bukan itu—bukan Umi yang minjem uang buat kembalian pasien.
Anak-anak Umi berusaha
menyembunyikan berapa uang yang masih dipegang a.k.a. di dompet—padahal sumber
utamanya Umi. Berusaha tidak terlihat paling banyak uang—yang paling kisarannya
tidak sampai 200 ribu. Masalahnya, uang yang kami pegang adalah uang darurat
kalo-kalo enggak dikasih ongkos karena Umi lagi banyak pengeluaran atau uang
yang kami tabung untuk beli baju. Kami tahu tidak mudah meminta apa yang kami
butuhkan ke Umi. Biasanya jawaban Umi adalah “iya” dan “sabar aja, kalo ada
uangnnya pasti dikasih.” Masalahnya tidak pernah ada tenggat waktu kapan akan
dipenuhi. Jadilah kami berusaha mengumpulkan uang dari sisa uang saku. Dan faktor
penting lainnya, karena kalo enggak pegang uang kayaknya gak bisa
ngapa-ngapain. Setidaknya ada sepuluh ribu aja di dompet buat beli pulsa.
Selain dari orang tua, kadang
sodara atau nenek juga suka ngasih. Tapi biasanya kami tidak mengatakan jika
ada orang lain yang memberikan uang—kecuali keadaan tertentu. Jadinya,
kadang—sesama anak—kami saling mencurigai siapa yang masih punya uang simpenan.
Biasanya kalo itu untuk kebutuhan pribadi, seperti pulsa atau peralatan mandi,
kami pake uang sendiri. Tapi kadang kalo sedang dalam proses ngumpulin duit,
kami minta sama Umi. Karena Umi bukan pegawai yang gaji bulanannya pasti, bisa
saja saat minta uang, ternyata lagi kosong. Untuk yang suka ngeteh atau ngopi,
terpaksa ditunda dulu karena Umi belom beliin. Dengan sabar nunggu uang untuk
beli teh celup sekotak.
Karena beberapa alasan dan
kondisi tertentu, kadang Umi kalo lagi gak ada uang, yah bener-bener enggak
ada. Jadi, kalo mau pergi-pergi yang penting ada buat ongkos. Tandanya ada yang
masih punya uang adalah bisa pergi. Kalo ada yang mau keluar rumah, entah untuk
urusan kuliah, kerja atau jalan sama temen, berarti masih punya simpenan. Yah,
kadang demi uang bisa individual tingkat dewa. Bahkan sama sodara sendiri. Kalo
ongkos cuma cukup buat berangkat, minjem deh sama yang lain. Kadang digantiin
kadang enggak. Kadang ada yang bilang “entar minta Umi gantiin.” Buat anak
baik, enggak bakalan tega minta sama Umi. Udah ikhlasin aja. Entar gantian kalo
enggak punya ongkos balik minjem.
Biasanya dari hasil uang
ongkoslah kami bisa punya tabungan atau uang cadangan—satu-satunya cara minta
uang yang pasti dikasih. Kalo selama hari kerja masih dikasih uang ongkos sama
Umi, berarti uang cadangan aman. Kadang, sih, Umi nanya “masih punya ongkos?”
(yang jadi indikator kalo keuangan lagi buruk). Yang ditanya geleng. Bukannya
pelit sama sodara, tapi karena tau pada punya uang simpenan, kadang suka cuek
aja kalo ada yang enggak jadi pergi karena enggak dikasih ongkos. Bisa aja dia
enggak mau keluar uang sendiri atau emang lagi hemat—penuh kecurigaan. Kalo
emang keperluan keluar enggak penting-penting amat, apalagi kalo pas ditanya
Umi mau kemana dan ternyata enggak bermanfaat amat, yah, di-cancel deh
perginya. Pokoknya gimana caranya biar uang simpenan sendiri aman. Kalo perlu
dianggap enggak punya uang.
Ada saat-saat dimana sesama
sodara “kejam” untuk urusan uang pribadi, tapi ada saat dengan mudahnya ngasih
uang tanpa diminta. Di satu sisi kami jadiin becandaan, di satu sisi jadi
privasi masing-masing, di satu sisi saling menyindir, tapi kami tahu kalau
masing-masing dari kami punya keperluan yang memang dibutuhkan yang tidak bisa
diganggu, kami tahu kalau uang yang kami kumpulkan untuk apa. Tahu kapan saat
uang bisa dihabiskan untuk jajan capcin atau kriuk-kriuk, tahu kapan saat yang
tepat untuk pergi jalan, dan tahu kapan kira-kira buat beli teh, gula, dan
kopi. (3/10/15)