Journey of My Life

seputar catatan yang katanya jurnal

  • Home
Home Archive for 2015
Waktu kecil, rumah yang keluargaku tempati adalah rumah nenek. Rumah semi permanen yang ada sumurnya, yang langit-langit biliknya bambu, yang jendelanya bisa diputar dan khas jendela rumah Betawi dengan empat daun jendela, yang terasnya luas, tapi kalo ujan bukan main banjir dan capek ngepelnya. Tidak hanya keluargaku yang tinggal di rumah nenek, ada Uwak dan ketiga anaknya, ada Om--sepupu orang tuaku, dan kadang ada adek dari ibuku. Kalo nenek dan kakekku tinggal di rumah lain di perumnas. Saat adek ibuku sudah kembali tinggal di rumah nenek, datang Om sepupu lain orang tuaku. Jadilah rumahku tidak pernah sepi. Selalu ada saja saudara yang tinggal bersama kami, sekalipun rumahnya dekat. Aku suka masa kecilku. Tinggal bersama saudara dan berkumpul bersama. Aku yakin pasti bukan hanya aku yang pernah tinggal bersama saudara lain dalam satu rumah. You can share your story too :)
15/10/2015
Berapa kali sih kita sudah tertipu oleh mata sendiri? Melihat sesuatu dan langsung menarik kesimpulan sendiri. Atau berapa kali kita mendengar tanpa melihat dengan mata sendiri?
Otak kita seakan begitu mudah menangkap segala sesuatu tanpa cek lagi kedua sisi. Otak dan diri kita langsung menarik kesimpulan sedapat apa yang terjadi saat itu. Makanya tidak heran timbul prasangka. Kita tahu prasangka hanya dugaan yang bisa jadi benar, bisa jadi salah. Dan prasangka adalah cara paling mudah untuk mengelabui diri sendiri. Apapun itu. 
Tidak mudah membuat orang lain percaya dengan apa yang kita lakukan, saat dia sendiri sudah punya prasangka lain terhadap diri kita. Tapi begitu melihat kebenarannya, dia tidak akan menyangkalnya. 
Kita mungkin susah membedakan prasangka yang sesuai fakta atau hanya opini, pendapat orang-orang. Itu mungkin kenapa orang-orang selalu mengatakan tidak mudah menjadi orang bijak. Jadi, apa yang harus kita lakukan agar prasangka tidak bercampur emosi dan tidak menimbulkan kesalahan?
 
Abah... Aku memanggil beliau Abah. Kalo tetehku waktu itu ngotot mau manggil papa-mama, sekarang mungkin akan berbeda. Tapi sebagai kakak, teteh mengalah. Jadilah kami sepakat manggil dengan sebutan 'umi-abah'.
Abah... yang selalu kulihat dan kutahu tidak pernah punya satu barang lebih dari satu. Seperti dompet, sepatu olah raga, sepatu pantovel, sendal, atau ikat pinggang. Yang dimiliki lebih dari satu hanya pakaian sehari. Kata Abah yang penting kualitas. Cukup punya satu, walau mahal yang penting awet. Itu juga mungkin yang berefek pada beberapa anaknya :)
Satu pergi, datang seribu.
Istilah tadi kurang lebih menggambarkan apa yang akan terjadi di tempat bimbel.
Ada murid baru. Cissy namanya. Dia teman sekelas Aura--putri pemilik bimbel. Awalnya sih masih malu-malu kucing kalau belajar. Lama-lama Cissy mengatur sendiri jadwalnya mau belajar apa. Karena sama-sama kelas 1, Aura kadang suka ikut belajar. Walau cuma dua, tapi kalau sudah bersaing nilai dan rebutan 'Kakak' aka saya, hem... bisa tidak kondusif suasana kelas. Saat saya mengajari Cissy membaca, Aura akan mulai menggoda Cissy yang lebih mengarah pada ejekan hanya karena belum lancar membaca. Fokus utama yang diminta ibu Cissy adalah membaca; agar Cissy lancar membaca. Buku apapun itu, asal ada bacaannya akan saya minta untuk dibuka. Tapi Cissy lebih suka buku bahasa Indonesia. Kalau sudah membaca, lanjut menghitung. Kalau ada PR, lanjut PR. Atau PR dulu, baru membaca dan berhitung. 
Seminggu Cissy tiga kali datang, tapi kadang hanya seminggu sekali. Secara teknis hanya ada satu siswa kelas 1, tapi karena ada Aura, jadi dua. Tidak masalah asal tenang. Namun, kenyataannya lebih sering becanda dan kata-kata yang keluar dari mereka adalah kata-kata yang tidak baik untuk anak kecil. Belum lagi kalo sudah ngomongin teman di kelas. Udah kayak ibu-ibu gosip. Kebanyakan hanya baru pendapat pribadi dari apa yang didengar dan dilihat, tanpa fakta pasti. Tapi emang anak SD kelas 1 ngerti fakta? Disuruh berhenti bicara juga cuma semenit dua menit. Lanjut lagi gosip dan menjelek-jelekan teman. Miris aja dengarnya. Belum lagi kalo udah saling menghasut dan mempengaruhi tentang si A yang begini dan begitu. Itu baru obrolan. Tapi kalo udah ribut berdua bisa sampe marah-marahan. Hem... lebaynya. Satu memojokkan dan tidak mau kalah. Satu kadang diem aja sambil ngerjain soal dan minta saya untuk memnyuruh Aura keluar dari kelas. Beberapa kali saya meminta untuk tenang atau salah satu keluar kelas dan tidak boleh masuk lagi. Masalahnya mulut yang satu bukan main bergeraknya.  Ada aja kata-kata kasar dan merasa diri paling benar yang keluar. Udah dinasehatin, masih aja ngomong. Belum paham mana salahnya. Cissy jadi kadang gak betah. Males lanjut belajar. Atau kalo lanjut, pindah kelas. Tapi masih aja dicecer sama Aura. Ada aja yang dia omongin. Untungnya Cissy enggak terlalu masukin ke hati. Padahal mah kalo mau nangis, ya nangis aja. Miris, sangat miris.
Tidak banyak yang mau saya tulis. Ini hanya kejadian yang umum terjadi di sekitar kita. Dan bisa jadi pernah kita alami.
Melihat hasil dari jerih payah usaha kita bisa dilakukan hampir setiap orang yang bahkan tidak dikenal. Melihat hasilnya, tapi tidak tahu apa yang sudah terjadi untuk sampai ke titik tadi. Atau sebaliknya, mereka yang melihat usaha kita, tapi tidak percaya dengan hasilnya. Mereka yang seperti ini harusnya hanya boleh melihat hasilnya, bukan prosesnya. Barulah mereka akan terkagum-kagum. 
Sudahlah, jangan pedulikan proses anak-anak yang sedang berinovasi. Lihat saja hasilnya ke depan. Jangan lihat proses membuat sesuatu dari barang bekas. Lihat saja hasilnya tanpa banyak tanya. 
Jadi, simpan pertanyaan sampai proses kreatif selesai dan lihat hasilnya.
Salman sudah tidak les English di tempat saya. Tinggal sang kakak yang masih berlanjut entah sampai kapan. Saya tahu dia hanya caper. Bergerak ke sana kemari hanya untuk menarik perhatian mereka yang ada di dekatnya. Sang kakak sepertinya sudah hafal tingkahnya. Tapi, yah gitu. Tetap saja over. Tetap saja menghela nafas entah harus gimana lagi dan apa yang harus disampaikan pada ibunya. Tapi pasti ada kelebihannya, ada kekurangannya. Saya sedikit-sedikit ingin tau apa yang Salman suka dan apa yang dia bisa. Ternyata anak over aktif ini bisa membuat graffiti dengan pulpen atau spidol--yang penting alat tulis. Graffiti nama atau kata yang dibuatnya menunjukkan sisi kreatif dari Salman. Sisi yang pasti sangat jarang dilihat. Apalagi kalau sudah tahu label Salman yang hiperaktif dan bandel. Sedikit pujian untuk Salman membuatnya tersenyum lebar malu-malu. Mungkin dia tidak tahu kelebihannya yang tadi karena sudah lebih sering dicap bandel dari orang-orang sekitarnya. Kalau sedang asyik membuat graffiti, Salman akan duduk tenang.
Dari sang kakak, saya tau kalau Salman les di tempat lain selepas maghrib. Semoga di tempat les baru Salman bisa lebih konsentrasi belajar dan lebih bisa dipegang dibanding saya. :)
Tadinya mau coba bikin kimono, tapi karena kekecilan, jadi gagal.
Cari-cari pola kimono di internet, dapet tuh yang bagus.







 
Akhirnya jadi. Tapi dijait di flanel sebagai aplikasi. Kalo jadi baju terlalu kecil, kecil banget, bahkan untuk pajangan sekalipun. Tinggi kimononya hanya sepuluh sentian. Tapi mau coba bikin lagi untuk gantungan kunci boneka .

Dari judulnya, bukan tentang bola yang akan saya tulis, tapi tentang istilah yang sudah sangat dikenal dan umum terjadi.
Berapakali, sih, kita pernah mengalami 'lempar bola'? Seenaknya disuruh ke sana ke sini saat yang kita tahu bahwa bagian X-lah yang menjadi tanggung jawabnya. Tapi katanya harus ke sana dulu. Dari sana lempar ke sini. Ish!!!
Saya berencana menerjemahkan ijazah dan transkrip nilai ke bahasa Inggris. Di kertas yang ditulis di TU fakultas jelas-jelas tertera biaya untuk menerjemahkan. Tapi saat saya meminta untuk pelayanan tadi, dari TU disuruh ke bagian TU lain di rektorat. Dengan bantuan bapak TU jurusan saya, kami berdua berjalan ke rektorat. Bapak TU jurusan bertanya ke pegawai di dalam TU rektorat, tapi disuruh ke fakultas. Lah tadi dari sono udah suruh ke sini. Jadi lah mulai sedikit kesal. Tapi ada bapak-bapak di situ yang nyuruh ke Pak 'I'. Ruangan beliau ada di lantai dua gedung yang sama. Masih bersama bapak TU jurusan, kami pergi ke ruangan Pak 'I'. Awalnya beliau menyuruh ke jurusan. Kami jelaskanlah sedikit udah kemana aja. Akhirnya beliau mau bantu. Tadinya memang beliau yang bertugas menerjemahkan, tapi sekarang tidak lagi. Pak 'I' menyuruh saya besok untuk datang membawa kopian ijazah dan transkrip nilainya.
Setelah hampir mau dilempar lagi, selesai lah urusan saya di kampus hari itu.
Sepele sebenarnya. Tapi dalam urusan administrasi apa selalu seperti itu? Apa tidak bisa dikatakan kalau saat ini, misalnya, layanan penerjemahan sedang tidak bisa? Kenapa dari fakultas harus ke BAAK? Atau memang tugasnya TU fakultas tidak termasuk menerjemahkan? Kan lebih enak bilang: Silakan datang ke bagian X atau Silakan ke Bapak X. Syukurnya saya dibantu bapak TU jurusan. Kalau tidak, bisa-bisa tidak tahu harus bagaimana lagi. Lagi, masalah pelayanan selalu tidak ramah dan memudahkan. Berbeda dengan pegawai bank. Saya begitu nyaman saat masuk bank. Dari pintunya aja sudah disambut senyuman pak/bu satpam. Di teller mesti senyum lagi. Beberapa kali ke meja CS, kadang malah jadi ngobrol. Padahal baru kenal, tapi udah akrab aja. Coba beberapa kantor bisa lebih ramah, tersenyum dan melayani dengan baik. Dijamin betah setiap yang datang.
Kalau bukan atas permintaan ade sendiri, enggak kepikiran deh buat permak ini celana. My bro minta celananya dijadiin celana ngatung macam celana joger.
So, ready to permak!!!
Pertama, potong celana kira-kira 10 cm dari ujung pergelangan kaki.
Lalu, tekuk ujungnya dan jait. Hasilnya bisa dilihat difoto ketiga.




Ketiga, tekuk lagi celana, kira-kira 5 cm dan jahit kembali. Tapi sisakan bagian yang tidak dijahit untuk jalan masuknya karet.

Eit, belum selesai. Tahap akhir adalah masukin karet ke pergelangan kaki celana.

 And... tada! Siap dipakai gaya... 
Selamat mencoba!!!

Untuk membuat pouch, bisa memakai bahan sisa. Yang penting gimana cara jahitnya. Ini pouch pertama yang aku jahit dengan mesin. Walau agak gagal dan berantakan, tapi jadi juga. 


Pertama, bikin pola dan gunting bahan untuk bagian dalam dan luar. Bagian dalamnya aku pakai katun. Nah, yang luarnya itu aku gak tau nama bahannya apa. Jangan lupa buat serutan di bagian luar, seperti gambar ketiga di bawah.
Pertama, jahit bagian untuk serutan. Baru jahit sisi dalamnya. Sebelumnya, tekuk bagian bekas guntingan ke sisi dalam agar terlihat rapi saat sudah jadi pouch. Jangan lupa saat menjahit hati-hati jangan sampai lubang untuk pita serutan tertutup. Gimana? Bisa?
Gamis bersejarah ini rencana mau dijadiin blus atau atasan. Bahannya kayak apa, yah? Berhubung gak tau jenis bahan, cuma ngira-ngira, mungkin kurang lebih kayak sifon, tapi tebelan, tapi bukan sifon juga, sih. Well, lanjut!!!

Potong gamis tepat di bagian bawah saku. Lanjut tekuk bagian bekas guntingannya dan jahit.

Terakhir tambah renda-renda di bagian bawahnya dan pergelangan tangan. Tampak lebih manis, kan?


Ini baru namanya reuse. Bikin pin cushion dengan wadah bentuk buah apel susah-susah gampang. Tapi jadi juga. Tidak harus wadah yang sama. Asal bisa berdiri dan ada wadahnya, apapun bisa jadi pin cushion. Gimana? Mau coba bikin sendiri?



Hal yang paling banyak mengisi kenanganku waktu SD adalah surat-menyurat. Tahun 2000 aku pindah ke Ciniru, Kuningan. Aku meninggalkan teman-teman kelas empatku di SD Tanah Baru,  meninggalkan jabatan ketua kelas tanpa sempat memilih siapa penggantiku, meninggalkan sepupu, keluarga besar, dan semuanya. Di tempat yang baru, aku dengan mudah mendapatkan teman tanpa perlu menunggu berganti hari. Tapi itu tidak membuatku berhenti berhubungan dengan mereka. Ada dua orang yang rutin kukirimi surat: sepupuku dan kakek. Karena letak kantor pos tidak jauh dari sekolah dan rumahku, kantor pos adalah kantor pertama yang paling sering kukunjungi. Tidak hanya mengirim surat, tapi juga menabung. Saat itu aku nabung di Batara yang bekerja sama dengan pos. Awalnya, aku kira tabungan Batara adalah milik pos. Tapi ternyata bukan. Ada lebih dari tiga buku tabungan berwarna kuning dengan gambar celengan tanah liat di sampul depannya yang kusetorkan setiap ke sana: punyaku dan dua saudaraku. Yang paling membuatku kagum adalah cara pak pos memberi cap di buku tabungan dan prangko surat. Capnya bukan cap biasa. Tapi seperti palu, sehingga menimbulkan suara pukulan yang keras.
Pak posnya pun mengenalku sebagai anak SD yang selalu datang untuk mengirim surat atau menabung. Pak Edi(nama pak posnya) selalu menunggu kapan aku datang. Setiap aku datang, beliau sudah hafal. Kadang bukan hanya surat yang kukirim, kalo ada undian di TV atau majalah Bobo, aku suka iseng-iseng ngirim. Entah karena alasan apa, aku selalu mendapatkan majalah sapen(sahabat pena) dari kantor pos. Gratis. Mungkin emang gratis. Karena sudah biasa, aku selalu datang ke kantor pos sambil membawa surat untuk sepupuku atau kakek dan Pak Edi memberikan majalah Sapen jatah untukku. Tapi aku belum pernah mencoba punya sahabat pena. Aku sudah punya sapen: sepupu dan kakek. Aku pernah mengirim surat untuk dua teman SD-ku di Depok, tapi hanya sekali balas. Jadi aku lebih sering bertukat surat dengan sepupuku dan kakek. Tapi sayang, hanya tersisa satu surat dari sepupuku dan kakek yang masih kusimpan sampai sekarang.
Kantor pos di Ciniru sangat sederhana, kecil dan lantai pelurnya sudah bolong di beberapa tempat. Ada kawat yang memisahkan antara ruangan Pak Edi dan pengunjung yang tingginya dari atas meja—seperti meja antara nasabah dan teller di bank, tapi dari kayu—kira-kira satu meter. Ada kotak pos dari kayu di belakang pintu masuk yang lubangnya ada di dinding luar di samping pintu masuk. Satu-satunya kotak pos besi di Ciniru yang pernah kulihat hanya di pasar. Pertama kali melihat kotak warna oren itu aku begitu antusias.
Saat ini mungkin surat sudah jarang digunakan, tapi itu akan menjadi kenangan paling berharga dari masa SD-ku. Bahkan saat aku masuk pesantren, satu yang kucari dan menjadi pusat perhatianku adalah kotak pos.
Belum lama ini aku melihat kantor pos baru di dekat rumahku di Curug. Entahlah, tapi aku senang melihatnya. Dari kantor pos aku belajar menulis surat dan menanbung. Ngomong-ngomong soal tabungan Batara, saat itu cara menulis pembukuannya sangat kompleks. Ada kertas yang ditempel, dicap palu dan hanya untuk 4 kali transaksi per dua halamannya. Wajar kalo sering ganti buku. Dan bukuku yang paling cepat habis. Pernah pas mau nabung kertas yang buat ditempel di buku tabungan habis. Gak jadi nabung deh. Karena sering kirim surat, disaranin beli prangko yang banyak. 1500 atau 1000 gitu yang kata Pak Edi sampe sekitar 3 hari.
Dompet merah dengan latar pokemon ini adalah dompet saat aku kecil. Sudah lebih dari lima belas tahun dompet ini menemaniku. Sampai akhirnya aku berniat untuk sedikit mengubah tampilannya.

sisi luar
sisi dalam
  Persiapan awal, kasih lem di seluruh sisi dan tengah dompet. Untuk lapisan luarnya, aku menggunakan kain yang agak yang seratnya mirip jeans, tapi lebih halus.
Tempel kain tadi di permukaan dompet yang sudah dilumuri lem.



Setelah itu, jahit pinggiran dompet dengan benang rajut kain. Beri hiasan kancing-kancing lucu dan selesai!!!


How? You like it? 

Siapa yang tidak suka dipuji? Ada mereka yang pandai memuji, ada yang tidak. Ada yang hati-hati dengan pujian, ada yang begitu mudah memuji. Ada yang segan memuji atau ada yang menganggap pujian tidak penting. Pujian bisa jadi sesuatu yang mahal untuk sebagian orang dan bisa jadi sebaliknya untuk sebagian yang lain. Pujian bisa jadi kebiasaan untuk orang tertentu, tapi tidak untuk yang lain.
Hal sederhana seperti pujian bahkan bisa jadi menjadi penyemangat untuk beberapa orang. Pujian bisa jadi bahan bakar untuk menjadi lebih baik. Sedikit pujian saja, terutama untuk orang terdekat, bisa menambah hubungan menjadi lebih baik. Pujian jadi bahan apresiasi paling mudah yang bisa dilakukan manusia. Tapi tidak semua orang bisa menyampaikan pujian dengan baik dan di saat yang tepat. Ada yang terlambat memuji, ada yang gengsi, ada yang mau memuji, tapi malah mengatakan sebaliknya, dan masih banyak lagi. Lebih mudah menghina dan menjelekkan orang lain dari pada memuji. Lebih mudah menemukan keburukan orang lain, dari pada kelebihannya. Memuji mungkin bukan kebiasaan 'baik' untuk sebagian orang, tapi dengan tidak mengatakan hal buruk, itu sudah lebih baik. Tidak ada salahnya sesekali memuji orang lain, walau hanya untuk hal-hal kecil.
Sayang, pujian juga bisa jadi pembawa kesombongan. Kesombongan akan kehebatan diri sendiri. Namun, sebagai yang memberikan pujian, berikan saja pujian tanpa peduli apa balasan dan tanggapannya nanti. Berbuat baik tidak harus mendapat balasan baik juga, kan? So, mulailah memuji mereka yang ada di dekat kita, sekecil apapun. Jadikan memuji kebiasaan baik dan mulailah belajar memberikan pujian yang baik, tidak berlebihan dan dengan hati yang tulus.

Pernah baca buku yang judulnya “Making Excuses”? Lupa sih siapa yang nulis. Tapi efeknya abis baca cuma bertahan sehari, dua hari. Besokannya yah kembali ke habitat.
Berhubungan dengan alasan, bukan hal yang mudah beralasan di depan ayah saya. Selalu saja ada titik dimana alasan yang saya atau anak-anaknya katakan bisa dengan mudah dipatahkan. Sedikit menyusahkan, tapi di satu sisi itu juga yang membuat anak-anak mereka berpikir sebelum meminta dan menerima nasehat orang tua tanpa membantah.
Ayah saya paling bisa menyudutkan kalau ditanya tentang alasan, misalnya kenapa mau ambil jurusan X atau kalo misalnya mau jalan-jalan. Ada aja pertanyaannya. Kadang jadi bikin males kalo mau ngomong apa aja. Pasti ada aja kelemahannya. Jadi sebelum ngomong ke ayah, udah keburu mikir pasti bakalan bilang gini, bilang gitu. Kami harus mempersiapkan alasan yang kuat apa dan tepat kenapa mau ini-itu, kenapa pilih ini atau itu. (Tapi saya tetap suka cara beliau mendidik anak-anaknya).
Orang tua saya tidak percaya kalo anaknya tidak bisa mendapatkan nilai 9 untuk MTK di rapor. Walau mereka bukan tipe orang tua yang: nanya nilai berapa, bagaimana sekolah dan ke sekolah untuk ambil rapor, tapi mereka akan lebih antusias dengan MTK. Sepertinya bagi mereka hanya ada dua matpel penting: MTK dan IPA. Mencari-cari alasan tidak suka MTK, malas, atau gurunya tidak enak adalah alasan yang akan ditolak mentah-mentah. Bagi mereka tidak ada yang susah dan sulit dalam belajar. Bagi mereka tidak ada alasan untuk belajar dan tidak mendapatkan nilai sempurna. Itu juga mungkin yang menyebabkan satu anak mereka suka hampir banyak hal karena dicekoki sikap “tanpa alasan” dan tidak ada yang sulit. Tapi disatu sisi membuatnya sulit menolak karena tidak mudah membuat alasan.
Entah sudah berapa kali kita membuat alasan. Dari yang cuma untuk menghindari satu hal sampai menolak dengan halus atau dari berbohong sedikit sampai alasan yang ngeyel minta ampun. Untuk beberapa hal, ada alasan yang bisa diterima, seperti: sakit, acara keluarga (mau itu suka atau duka), musibah becanda alam. Tapi banyak alasan yang dibuat sepele. Seperti alasan malas.
Kadang saya suka sebel sama mereka yang beralasan malas. Tapi jika saya seperti dia, juga beralasan malas karena menolak melakukan sesuatu, itu seperti makan kata-kata sendiri. Karena berpikir tidak punya alasan yang kuat untuk menolak, kadang mau gak mau ya nerima aja kalo ada yang minta tolong ato dilarang orang tua.
Karena didikan ayah, saya pun belajar untuk membuat alasan yang bisa diterima. Berani menolak sesuatu tidak selamanya buruk. Selama itu tidak merugikan kedua belah pihak atau bisa mengganggu aktivitas saya, maka tidak ada salahnya membuat alasan. Tidak selamanya kita sanggup mengerjakan satu tugas.

Antara ngasih tau sama pengen mereka belajar sendiri, jadi dilema. Hampir setiap anak di tempat saya bimbel, apalagi yang SD, lebih siap menunggu jawaban daripada mencari jawaban. Rata-rata anak kelas 4 dan 5 SD yang malas, lebih tidak sabaran untuk menyelesaikan PR karena gurunya lama ngasih jawaban, terutama matpel MTK. Kalo disuruh ngitung, bilangnya “enggak tahu” mulu. Perkalian belum hafal sampai 6. Pembagian enggak bisa. Pengurangan yang minjem atu juga masih bingung. Maunya “kakak cepet jawabannya apa.” Pelajaran yang hanya perlu dibaca aja lebih suka kakak pembimbingnya yang nyari. Saya selalu mengatakan “baca, di buku pasti ada jawabannya.” Kalo enggak ampuh juga, saya buka halaman yang ada jawabannya dan menyuruhnya baca. Kadang kalo udah dapet jawabannya, senyum malu sendiri, kadang bener-bener gak ngeh kalo jawaban ada dari teks yang tadi dibaca. Bener-bener pengen nulis jawabannya aja. Jadinya prihatin.
Kesimpulannya, mereka datang konsultasi ke tempat bimbel hanya untuk mendapatkan jawaban dan nilai bagus. Bukan mencari pemahaman. Susah-susah gampang untuk mengatakan pada anak kelas 4 atau 5 SD tentang memahami pelajaran. Tapi semoga aja ada yang masuk ke pikiran mereka lewat suara guru-guru yang menerangkan cara mengerjakan soal, misalnya FPB dan KPK.

Jujur tentang keuangan? Pernahkah kita benar-benar jujur tentang uang? Saya tidak yakin kalau kita bisa sejujur itu. Dalam satu keluarga aja belum tentu. Tidak ada yang mengaku siapa yang masih punya uang—apalagi kalo misalnya itu uang tabungan untuk beli sesuatu atau uang simpenan.
Saat Umi mau pinjam uang untuk kembalian, jarang ada yang langsung menawarkan, kecuali Umi dengan jelas bilang “De, pinjem sepuluh buat kembalian.” Si sodara yang uangnya aman bisa bernapas lega. Setelah itu, Umi akan ngasih uang satu lembar warna biru, sambil bilang “buat ongkos” atau “buat pegangan.” Tapi gak jarang juga Umi lupa. Tapi intinya bukan itu—bukan Umi yang minjem uang buat kembalian pasien.
Anak-anak Umi berusaha menyembunyikan berapa uang yang masih dipegang a.k.a. di dompet—padahal sumber utamanya Umi. Berusaha tidak terlihat paling banyak uang—yang paling kisarannya tidak sampai 200 ribu. Masalahnya, uang yang kami pegang adalah uang darurat kalo-kalo enggak dikasih ongkos karena Umi lagi banyak pengeluaran atau uang yang kami tabung untuk beli baju. Kami tahu tidak mudah meminta apa yang kami butuhkan ke Umi. Biasanya jawaban Umi adalah “iya” dan “sabar aja, kalo ada uangnnya pasti dikasih.” Masalahnya tidak pernah ada tenggat waktu kapan akan dipenuhi. Jadilah kami berusaha mengumpulkan uang dari sisa uang saku. Dan faktor penting lainnya, karena kalo enggak pegang uang kayaknya gak bisa ngapa-ngapain. Setidaknya ada sepuluh ribu aja di dompet buat beli pulsa.
Selain dari orang tua, kadang sodara atau nenek juga suka ngasih. Tapi biasanya kami tidak mengatakan jika ada orang lain yang memberikan uang—kecuali keadaan tertentu. Jadinya, kadang—sesama anak—kami saling mencurigai siapa yang masih punya uang simpenan. Biasanya kalo itu untuk kebutuhan pribadi, seperti pulsa atau peralatan mandi, kami pake uang sendiri. Tapi kadang kalo sedang dalam proses ngumpulin duit, kami minta sama Umi. Karena Umi bukan pegawai yang gaji bulanannya pasti, bisa saja saat minta uang, ternyata lagi kosong. Untuk yang suka ngeteh atau ngopi, terpaksa ditunda dulu karena Umi belom beliin. Dengan sabar nunggu uang untuk beli teh celup sekotak.
Karena beberapa alasan dan kondisi tertentu, kadang Umi kalo lagi gak ada uang, yah bener-bener enggak ada. Jadi, kalo mau pergi-pergi yang penting ada buat ongkos. Tandanya ada yang masih punya uang adalah bisa pergi. Kalo ada yang mau keluar rumah, entah untuk urusan kuliah, kerja atau jalan sama temen, berarti masih punya simpenan. Yah, kadang demi uang bisa individual tingkat dewa. Bahkan sama sodara sendiri. Kalo ongkos cuma cukup buat berangkat, minjem deh sama yang lain. Kadang digantiin kadang enggak. Kadang ada yang bilang “entar minta Umi gantiin.” Buat anak baik, enggak bakalan tega minta sama Umi. Udah ikhlasin aja. Entar gantian kalo enggak punya ongkos balik minjem.
Biasanya dari hasil uang ongkoslah kami bisa punya tabungan atau uang cadangan—satu-satunya cara minta uang yang pasti dikasih. Kalo selama hari kerja masih dikasih uang ongkos sama Umi, berarti uang cadangan aman. Kadang, sih, Umi nanya “masih punya ongkos?” (yang jadi indikator kalo keuangan lagi buruk). Yang ditanya geleng. Bukannya pelit sama sodara, tapi karena tau pada punya uang simpenan, kadang suka cuek aja kalo ada yang enggak jadi pergi karena enggak dikasih ongkos. Bisa aja dia enggak mau keluar uang sendiri atau emang lagi hemat—penuh kecurigaan. Kalo emang keperluan keluar enggak penting-penting amat, apalagi kalo pas ditanya Umi mau kemana dan ternyata enggak bermanfaat amat, yah, di-cancel deh perginya. Pokoknya gimana caranya biar uang simpenan sendiri aman. Kalo perlu dianggap enggak punya uang.
Ada saat-saat dimana sesama sodara “kejam” untuk urusan uang pribadi, tapi ada saat dengan mudahnya ngasih uang tanpa diminta. Di satu sisi kami jadiin becandaan, di satu sisi jadi privasi masing-masing, di satu sisi saling menyindir, tapi kami tahu kalau masing-masing dari kami punya keperluan yang memang dibutuhkan yang tidak bisa diganggu, kami tahu kalau uang yang kami kumpulkan untuk apa. Tahu kapan saat uang bisa dihabiskan untuk jajan capcin atau kriuk-kriuk, tahu kapan saat yang tepat untuk pergi jalan, dan tahu kapan kira-kira buat beli teh, gula, dan kopi. (3/10/15)
Lagi ngobrol-ngobrol sama Balqis di meja konter saat dia sedang konsul pelajaran. Saya sedang mengecek absen-absen dan absen bimbingan per kelas. Gak tau dari mana mulainya, tau-tau udah ngomongin teh manis. Ternyata Balqis suka teh manis. Kadang sarapan juga pake teh manis. Saya senyum-senyum. Senyum karena mengingatkan saya pada kebiasaan harian di pagi hari yang juga dimulai sejak kecil.
Teh manis yang harus pekat, sepat, dan cukup 2-3 sendok teh gula adalah menu sarapan rutin saya. Mungkin karena ibu saya selalu mengingatkan untuk sarapan, walau itu hanya secangkir teh manis, sampai sekarang kebiasaan minum teh pagi tidak pernah hilang.
Berbincang dengan Balqis, murid kelas enam yang bimbel di tempat saya membuat saya berpikir kalau kami punya beberapa kesamaan. Selain suka teh manis, Balqis juga minum kopi, tapi hanya setengah bungkus. Lagi-lagi itu mengingatkan saya dengan masa kecil saya. Entah siapa yang membuat saya minum kopi dari kecil. Bisa karena isi rumah saya saat itu ada sodara yang tinggal bersama kami yang seperti kebanyakan orang kampung, minum kopi item di pagi hari. Tapi yang saya minum bukan kopi tubruk, kopi item, tapi kopi item Nescafe yang biasa dicampur cream. Gara-gara ada parcel, ya, saya seduh aja. Minum kopi bukan kebiasaan tiap hari saya, kadang-kadang aja kalo ada. Yang wajib ada sebenarnya susu. Bukan teh manis atau kopi. Baru deh pas gede, pas udah gak minum susu lagi, ganti sama teh manis.
Saya pun mengajak Balqis tos setiap ada yang sama. Selesai dengan obrolan, kami melanjutkan konsul pelajaran. Kata Balqis, besok dia ulangan. (2/10/2015)
Seorang teman pernah berkata: "setiap orang punya masa jayanya masing-masing."
Teman saya ini mengatakannya saat kelas sepuluh. Waktu itu sih saya tidak terlalu paham, tapi sekarang saya tahu apa maksudnya. 
Tidak mudah sukses di usia muda. Mereka yang sukses saat muda lebih sedikit dibanding yang sukses di atas usia 30-an atau 40-an. Menjadi sukses di usia muda adalah impian hampir setiap orang. Tapi yang terpenting adalah pantang menyerah dalam mengejar impian kita. Bukan masalah usia. Umur tidak lah penting. Beberapa orang bisa sukses saat muda dan sebagian lain di usia matang. Tahu Mang Saswi? Ngaku siapa aja yang baru tau beliau sekarang? Saya termasuk yang mengacungkan tangan. Padahal beliau pernah main di film "Petualangan Sherina" dan "Untuk Rena". Berarti Mang Saswi sudah cukup lama kan di dunia hiburan? Tapi baru terkenal sekarang. Ada lagi ibunya Romaria. Apa beliau pernah berpikir untuk tampil di TV? Atau Kang Komar. Lewat perjuangan bertahun-tahun tanpa putus asa, akhirnya beliau bisa terkenal sekarang.
Itulah maksud kalimat teman saya. Kita mungkin tidak sukses saat ini, tapi yakinlah akan ada masanya bagi kita untuk berjaya. Mungkin kita sudah lama menulis, tapi masih juga belum berjodoh dengan penerbit manapun. Tapi yakinlah, suatu saat akan datang masa jaya kita. Mungkin saat ini kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan, tapi yakinlah dengan usaha kita akan menemukan apa yang menjadi passion kita. Tidak usah pedulikan mereka yang sudah merasakan keberhasilan usaha. Yang terpenting adalah tetap berusaha tanpa perlu menghitung kapan masa jaya kita datang. Hilangkan ketakutan dan keraguan dari dalam diri kita dan orang-orang di sekitar yang pesimis. Dan katakanlah pada diri sendiri bahwa masa jaya kita akan segera datang.
See ya...
"Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, tapi apa yang kita butuhkan."
Kalimat bijak tadi pasti sudah sangat sering kita dengar. Mungkin yang jadi masalah adalah apa kita bisa membedakan mana yang kita inginkan dan mana yang kita butuhkan. Perbedaannya pasti sangat tipis, sampai-sampai tak terlihat. Tentang kebutuhan, mungkin kadang disamarkan dengan keinginan, begitu pun sebaliknya. Kita lebih mudah tahu apa yang diinginkan dari pada yang dibutuhkan. Seperti halnya makan. Kita selalu kalap karena keinginan, padahal kebutuhan energi atau kalori kita tidak sebanyak yang kita kira. Pernah lihat informasi nilai gizi di bungkus makanan? Di situ ditulis "kebutuhan kalori Anda bisa lebih atau kurang." Dengan kata lain, kebutuhan setiap orang tidak bisa dipukul rata. Tapi kita sendiri--sekali lagi--tidak tahu kebutuhan kalori sendiri. Kita juga kadang membeli barang yang kita mau, bukan yang kita butuhkan.
Apa kita sungguh butuh baju baru? Atau apa kita sungguh tidak cocok dengan pekerjaan kita?
Pernah mendengar "tambahkan sesuai kebutuhan"? atau "berikan secukupnya"? Biasanya saat menonton acara memasak, saat si chef menambahkan garam atau penyedap rasa, dia akan mengatakan kalimat tadi. Atau "belilah sesuai kebutuhan", "Kami menyediakan apa yang Anda butuhkan", "Apa saja yang Anda butuhkan?" Kata "butuh" atau "membutuhkan" terdengar lebih bijak dari pada "keinginan" atau "ingin".
Sekali lagi, tidak mudah untuk tahu apa yang kita butuhkan. Karena itu muncul kalimat bijak di atas tadi. Kita tetap boleh meminta apa yang kita inginkan lewat doa, tapi apakah akan dikabulkan atau tidak, itu tergantung apakah menurut-Nya kita butuh. Dia melihat kebutuhan kita, bukan apa kita inginkan.
See ya...
Untuk guru-guru TK dan guru SD, pasti sangat paham dengan tingkah laku anak-anak muridnya yang ajaib dan di luar prediksi. Ada saja tingkah dan keributan yang terjadi. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana harus mengatur 20-an atau 30-an lebih siswa.
Saya pikir tidak akan pernah mengajar SD di bawah kelas 6. Saya bahkan tidak pernah mengajar anak-anak. Sebagai keterangan, saya bukanlah guru, hanya membantu membimbing adik-adik di tempat bimbel.
Sungguh saya tidak pernah mengira kalau mereka bIsa begitu atraktif dan membuat saya berpikir untuk resign. Kadang saya begitu kesal, tapi harus bisa tersenyum di depan mereka. Tidak semua peserta bimbel SD banyak gerak. Hanya ada satu untuk tiap kelas. Tapi itu sudah cukup menyita perhatian saya.
Sabtu kemarin, saya kembali harus menghadapi dua kakak-beradik yang bisa membuat mood saya naik-turun. Adalah Syahira--kakak--dan Salman yang harus selalu saya ingatkan untuk setidaknya sebentar saja memerhatikan pelajaran bahasa Inggris yang sedang saya jelaskan. Mereka berdua les bahasa Inggris.  Si kakak kelas 5 dan si adik kelas 3. Sejak awal si adik sudah susah untuk diatur. Bisa dibilang hiperaktif--tapi saya memilih untuk tidak menggunakan istilah tadi. Mereka di tempatkan di jam dan kelas yang sama. Awalnya saya menyamakan materi untuk mereka berdua, tapi selanjutnya saya bedakan, mengingat si kakak sudah lebih banyak mengenal kosakata bahasa Inggris. Belum lama ini jadwal mereka dipisah, hanya beda jam.
Seperti biasa saya harus mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan keusilan dan tingkah Salman. Karena kemaren saya tidak terlalu mempersiapkan materi, akhirnya kami membahas tentang perhiasan dan bahasa Inggrisnya. Di awali dengan cerita mereka yang pergi ke pasar--padahal saya sedang menjelaskan tentang market. Jadilah setelah mengetahui bahasa Inggris dari setiap perhiasan mereka bercerita tentang toko emas langganan ibu mereka, ibu-ibu di pasar yang kejambret karena memakai perhiasan berlebihan. Itu salah satu taktik saya agar mereka tenang, tapi sedikit belajar. Keadaan awal terkendali, tapi di akhir pelajaran Salman mulai bertingkah. Mulai dari rebutan spidol dengan Syahira, peluk-peluk si kakak, dan naik ke atas kursi--yang diikuti si kakak. Syahira teriak-teriak karena Salman terus memeluknya--yang menurut saya bagian dari keakraban mereka. Saya pun memutuskan untuk pindah tempat. Di luar kelas, mereka masih bertingkah. Syahira sudah duduk, tapi Salman lari ke sana-kemari, naik ke atas meja dan keluar-masuk rumah les. Karena sudah habis jamnya, saya pun duduk-duduk, tidak peduli dengan Salman. Tapi itu tidak membuatnya berhenti. Dia masih mencari perhatian dengan guru lain. Karena sudah lelah dengan tingakh si adik, Syahira juga hanya duduk. Saya pergi sholat, yang setelahnya saya menghubungi ibu mereka untuk dijemput karena agak lama datangnya. Barulah saat saya sudah pamitan pada mereka berdua, Salman duduk diam.
Itu baru satu murid, masih ada satu lagi yang begitu sulit untuk diajak fokus dan dua lagi yang mulai banyak tingkah. Hari sabtu ini cukup. Saya harus pulang untuk istirahat dan makan.
28/9/2015
Kadang di akhir bulan kita bertanya kemana saja uang gaji yang kita terima. Kemana saja perginya uang-uang tadi? Kita hanya tahu bahwa uang kita sudah habis. Beberapa dari kita mungkin mencatat dengan baik keuangan pribadinya. Tapi banyak yang lebih tidak peduli.
Orang-orang selalu bilang menghabiskan uang seperti membuka keran air, keluar dengan mudah. Tapi mencarinya bisa setengah mati. Selalu di akhir bulan kita tidak menyadari bagaimana uang yang kita hasilkan dari bekerja sebulan penuh menguap.
Sebenarnya kita bisa mengontrol si keran tadi. Entah itu dengan perencanaan pos-pos keuangan (macam konsultan keuangan aja ngomongnya) atau mengerem keinginan dari membeli sesuatu yang hanya lapar mata. Tapi ada salah satu cara lain yang bisa kita lakukan: mencatat keuangan per harinya. Memang itu bukan pekerjaan yang mudah awalnya, terutama untuk si penunda dan bukan orang yang disiplin melakukannya setiap hari.
Cara sederhana ini bisa dilakukan siapa saja. Kita hanya perlu membuat daftar jenis-jenis pengeluaran per bulan dan pemasukannya.
Contohnya seperti tabel milik teman saya ini:
Tabel pemasukan:

 

Jangan lupa pakai sedikit rumus di Exel, seperti pengurangan dan tambahan. Mudah, kan? Kita bisa tahu kemana saja uang kita pergi. Tahu apa saja pengeluaran yang boros. Bisa lebih efisien dan bijak dalam menggunakan uang. Karena kebutuhan setiap individu berbeda, tentu untuk list tabel pengeluaran disesuaikan dengan keseharian dan gaya hidup kita. Tambahan, karena kadang kita bisa saja lupa apa saja pengeluaran kita hari itu, manfaatkan smartphone atau hp sebagai catatan sebelum dipindahkan ke Excel atau kalau ada aplikasi word di smartphone-nya, bisa langsung di-input saat itu juga. Jadi megang-megang hp bukan hanya liat status orang, stalking, atau liat-liat instagram, manfaatkan dengan mengisi tabel income-outcome.
Semoga bermanfaat! Ayo hidup lebih baik lagi dalam mengontrol uang!
Rusia??
Kadang kita tidak pernah tahu bahwa ada benang merah yang mengurai yang menunjukkan satu hubungan peristiwa dalam hidup kita dengan peristiwa yang lain. Mungkin kita baru menyadarinya saat hubungannya terlihat lebih jelas. Setidaknya kita perlu lebih dari satu petunjuk untuk tahu hubungannya.
Saat saya SD kelas tiga atau empat, saya pernah membaca majalah seukuran buku novel. Di sampulnya tertulis beberapa artikel penting dunia saat itu. Seperti kematian Princess Diana dan artikel tentang Firaun yang memiliki 100 anak. Ada banyak artikel di majalah tadi, termasuk pengorbanan manusia yang dilakukan suku Aztec untuk dewa mereka.
Awalnya saya hanya membaca artikel-artikel yang menarik. Sampai saya membaca artikel tentang keluarga kekaisaran Rusia yang terakhir. Inti dari artikel itu adalah pencarian dan penemuan kuburan keluarga kekaisaran yang dibantai oleh para revolusioner.
Saya sudah tidak ingat dengan artikel itu saat lulus SD. Tapi saya malah membuat cerita yang salah satu tokohnya orang Rusia. Tidak sengaja saya membaca komik tentang keluarga kekaisaran Rusia--Anastasia Club. Dari situ saya tahu kalau banyak cerita yang berkembang tentang sisa dari keluarga kaisar yang masih hidup--tapi bukan itu yang saya cari. Dari komik saya tahu sedikit tentang keluarga Tsar Nicholas II--hanya sebatas yang dari komik.
Lulus SMA, saya membuat cerita yang nama-nama tokohnya sedikit campuran nama anak-anak Tsar Nicholas II. Saya kemudian mencari artikel tentang Tsar dan keluarganya dari wikipedia. Yang membuat menarik adalah hubungan Tsarina dengan Inggris. Saya pernah membaca artikel tentang keluarga kerajaan Inggris dan beberapa raja dan ratunya. Itu menunjukkan bahwa keluarga kerajaan di Eropa saling terhubung. Seperti kita ketahui--terutama dari film-film--adalah hal yang umum kalau antar kerajaan saling menjalin hubungan lewat pernikahan.
Saya tadinya tidak berpikir banyak tentang Rusia, tapi ada saja hal yang saya temukan yang ujung-ujungnya tentang Rusia. Seperti novel karya Habiburrahman El-Sirazy, Bumi Cinta, yang mengambil setting Rusia. Terakhir adalah cerita tentang Alexander Pushkin--sastrawan Rusia yang sangat dicintai rakyatnya.
Tidak banyak yang saya ketahui tentang Rusia. Tapi itu sudah cukup membuat saya menyukai Rusia. Ditambah lagi Islam juga berkembang dengan baik di Rusia selama berabad-abad. Mungkin suatu saat saya akan berkunjung ke Rusia dan melihat masjid Biru yang diminta dibuka kembali saat Sukarno melakukan lawatan ke Rusia--yang saat itu masih menjadi Uni Soviet.
Seberapa sering kita menunggu? Berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk menunggu? Apa saja yang kita tunggu? Apa kita menyebabkan orang lain menunggu?
Pertanyaan-pertanyaan tadi hanya bisa dijawab oleh diri kita sendiri dan tergantung apa saja yang menurut kalian bagian dari menunggu.
Kita semua selalu berpikir dan mengatakan tidak suka menunggu. Seakan kita diburu kerjaan lain dan terlihat menghargai waktu. Tapi kenyataannya justru sebaliknya. Diri kita sendirilah yang membuat menunggu.
Menunggu bisa untuk hal-hal sepele. Ada menunggu yang bisa dimaklumi, ada yang membuat kesal minta ampun, ada yang tidak bisa berkata apa-apa. Menunggu yang bisa dimaklumi dan kadang tidak bisa dihindari adalah menunggu antrian. Antrian tiket kereta, antrian mandi, antrian teller bank, atau antrian di restoran cepat saji. 
Menunggu sepertinya tidak ada direncana harian seseorang. Menunggu biasanya karena suatu situasi. Saat membuat planning biasanya ditulis: bertemu si A, ke bank, atau mengerjakan tugas kuliah. Tapi kenyataannya selalu ada jeda untuk menunggu apa-apa yang sudah kita rencanakan. Dan biasanya waktu menunggu seakan berarti waktu untuk diam. Hanya sedikit yang memanfaatkan waktu menunggu.
Semakin tinggi pekerjaan seseorang, semakin dimanfaatkan waktu yang ada. Saya setuju dengan kalimat: "dunia bukan tempat kita untuk beristirahat" dan "waktu yang tersedia lebih sedikit daripada pekerjaan yang ada." Beberapa orang mungkin terlihat sibuk, beberapa lainnya santai, dan beberapa lagi tidak melakukan apapun.
Tapi kembali selalu menunggu. Di rumah, Umi menunggu pasien. Tidak melakukan yang lain. Menunggu nasib berubah tanpa melakukan sesuatu. Tukang ojek yang menunggu pelanggan, sopir yang menunggu sewa, pedagang yang menunggu pembeli atau ibu-ibu menunggu anak sekolah. Bukan karena sekarang zaman yang segala serba cepat. Ini soal memanfaatkan waktu lebih baik. Banyak sekali contoh menunggu yang kita sadari atau tidak. Saya pun sangat sering menunggu: kapan malam, menunggu di angkot sampai rumah, yang terkadang membuat saya berpikir apa yang saya tunggu hal-hal yang sepele.
Kita semua menunggu. Menunggu untuk banyak hal. Yang terpenting adalah menjadikan menunggu kegiatan yang produktif dan tidak sia-sia. Bisa kah?  
Ingat foto ini?
Biji bekel. Apa masih ada yang jual? Apa masih ada yang maenin? 
Seperti yang kita tahu saat ini, begitu banyak warga Suriah yang mencari suaka ke negara-negara Eropa. Berbagai kisah tentang perjalanan mereka mengarungi laut dan sampai di negara tujuan ada di setiap media cetak dan elektronik.
Peristiwa berpindahnya penduduk negara-negara konflik mengingatkan saya tentang hijrah. Peristiwa hijrah sahabat-sahabat Nabi ke Etiophia dan peristiwa hijrah Nabi dan para sahabat ke Madinah.
Hijrah terjadi karena tempat yang kita tinggali mengancam diri kita. Apakah karena lingkungan tempat kita tinggal tidak kondusif atau tidak mendukung untuk kebaikan. Tapi dalam kondisi perang yang mengancam diri dan keluarga, hijrah menjadi salah satu pilihan utama.
Dalam peristiwa hijrah Nabi dan para sahabat ke Madinah, mereka disambut dengan antusias dan penuh kegembiraan oleh warga Madinah. Tidak segan-segan warga Madinah--Nabi memberi mereka julukan dengan kaum Anshor--memberikan apa yang mereka miliki: rumah, makanan, dan harta benda lainnya. Tidak ada keraguan dalam benak kaum Anshor untuk membantu saudara mereka--kaum Muhajirin--yang datang tanpa membawa perbekalan.
Seperti itu juga yang terjadi dengan para imigran dari daerah konflik seperti Suriah. Ada yang menyambut mereka dengan baik, tapi ada juga yang menolak mereka dengan berbagai alasan.
Saya pernah membaca tweet yang kurang lebih berbunyi: tidak ada alasan untuk melakukan kebaikan. Apa alasan sama dengan pertimbangan?
Abis baca koran Kompas tentang uang koin yang sudah tidak bernilai dan tidak digunakan lagi di daerah Indonesia timur, lupa antara Maluku atau Sulawesi. Awalnya ada warga yang mau nabung pake uang koin di bank. Tapi pihak bank nolak. Jadilah warga di sana mulai menolak uang koin dalam aktivitas ekonomi harian. Bahkan sampai dibuang ke tong sampah atau laut. Kalo di sini mending dikasih pengamen atau pengemis. Tapi pertanyaan yang terbersit justru: apa ada alat atau mesin untuk menghitung uang koin kayak uang kertas yang ada di bank-bank?
Saat kita bepergian yang perlu menginap semalam atau lebih, biasanya kita perlu membawa perlengkapan mandi, seperti sikat gigi, sabun, odol, dan sampo atau hand body. Body care tadi biasanya punya ukuran botol atau tube tang gak kecil. Padahal kita gak pergi lama. Kalau pun beli di tempat tujuan, ukurannya sama, gak ada yang kecil.
Nah di sinilah guna botol ukuran kecil yang tidak makan tempat dan tidak membebani tas atau ransel. Jadi bisa lebih praktis. Kita bisa mengoper sebagian isi produk untuk mandi tadi ke wadah yang lebih kecil yang ada di sekitar kita. Bisa didapatkan dari mana saja, termasuk beli botolnya. Lumayan kan untuk lingkungan dan perjalanan kita selanjutnya. Cukuplah isinya untuk seminggu.
Semoga bermanfaat.
Mungkin ini hal sepele, sangat sepele. Kita pasti selalu akan mengganti sampo atau sabun atau odol yang isinya sudah tidak keluar lagi atau sudah dijamin habis isinya di dalam botol. Tapi kita sesungguhnya tidak pernah benar-benar habis memakai produk-produk kebersihan tadi, terutama pasta gigi. Pernah terpikirkan oleh kita kalau sisa-sisa tadi dikumpulkan, apa bisa jadi satu tube odol atau satu botol sampo? Percaya atau tidak, sisa odol di dalam tube masih cukup untuk 2-3 kali sikat gigi atau mungkin lebih.
Di rumah, ibu saya atau saya selalu menggunting tube odol jika dipencet tidak keluar lagi. Tapi untuk botol sampo atau sabun cair, biasanya ditambahkan sedikit dengan air. Jadi saat botol dibuang benar-benar bersih isinya.

Bahkan untuk sabun batang, biasanya sisa sabun batang yang kecil 'ditempelkan' pada sabun yang baru. Caranya: basahi sedikit permukaan sabun batang baru, next tempelin deh si sabun yang kecil. Tara...! Menyatu deh sama yang gede. Bisa dipake lagi kan??
So, semakin sedikit lah sampah yang kita buat dan buang.
Sepertinya telor bukan hanya pendamping makan nasi. Telor sudah seperti makanan wajib--kalau tidak bisa disebut pokok. Setidaknya kalau tidak masak atau tidak belanja atau tidak beli makanan jadi di rumah makan, telor satu-satunya opsi. Selalu sedia telor sebelum lapar.
Di rumahku, telor harus selalu ada. Kalau dipikir-pikir dengan baik, tidak pernah aku tidak makan telor lebih dari dua hari. Selalu telor. Mau didadar atau diceplok. Aku tidak berpikir berapa kilo telor yang sudah kukonsumsi sampai seperempat abad ini.
Aku masih ingat dengan baik saat mengambil telor ayam kampung di kandang belakang rumah untuk sarapan sebelum berangkat sekolah. Kadang kalau ada induk yang sedang mengerami telor-telornya aku minta bantuan Uwak. Mengambil telur bercangkang putih langsung dari kandangnya dan mungkin saja baru ditelurkan--yang masih hangat karena dierami--pasti tidak akan terulang lagi. Sepertinya saat aku SD, aku lebih sering makan telor ayam kampung daripada ayam negeri. Walau ukurannya lebih kecil, tapi rasanya sama. Hehe...
Aku bersyukur masih bisa merasakan makan telor langsung dari kandangnya, pernah menanam kacang tanah dan jagung di kebon, main di kandang kambing, ngasih makan rumput langsung ke mulut kambing, main masak-masakkan di kebon belakang rumah yang penuh pohon-pohon seperti durian, rambutan, salak dan meninjo, dan menikmati sayur, seperti kacang panjang dan oyong, langsung dari pohonnya saat sahur. Really fresh!!! Biar dikata tinggal di Depok, tapi saat aku kecil rumahku adalah kampung penuh kebon. Aku masih merasakan mandi dari air sumur hasil nimba. Aku masih merasakan makan berbagai jenis rambutan dari pohon di sekitar rumah. Aku masih merasakan tinggal di rumah setengah permanen dengan langit-langit dari anyaman bambu.
Ngomong-ngomong berapa harga telor sekarang? Walau penikmat telor, tapi urusan harga, aku tidak tahu. Berapakali pun disuruh beli telor di warung, harganya tidak pernah nempel di kepala. Yang aku tahu, telor adalah makanan darurat di saat tidak ada makanan atau lauk apapun di rumah. Jadi, berapa harga sekilo telor?


Enggak tau kenapa pasti selalu ada panci korban gosong. Mau panci baru atau yang lama. Awal mulanya biasanya karena ada yang masak atau ngangetin sayuran tapi kelupaan. Biasanya sih karena sayur. Pernah karena masak telor rebus, tapi ditinggal. Pas inget aernya udah abis, telurnya agak coklat gosong. Pernah karena sayur nangka. Udah tau cuma bentar juga mendidih, tapi ditinggal tidur. Parahnya bau gosong kadang gak kecium, atau lebih tepatnya nyaru sama bau masakan yang dikira dari tetangga sebelah. Berpikir positif kali aja tetangga yang lagi masak. Ditambah lagi dapur warung padang tepat di belakang rumah. Padahal mah asep udah sampe depan rumah. Hah... keluarga yang (kadang) gak peduli. Umi pasti marah-marah kalo tau pancinya gosong lagi, lagi dan lagi. Tapi kalo ternyata Abah penyebabnya, Umi gak bakalan marah. Paling kami yang kena. "Kenapa gak ada yang perhatian?" Gak tau juga, Mi. Bener-bener gak tau kalo ada yang lagi ngangetin atau masak di dapur. Gak ada yang ngeh. Ujung-ujungnya Umi yang nyuci panci-paci gosong sampe kinclong. Gak ada panci di rumah yang kerakan sampe item. Kinclong sampe bisa ngaca. Top deh tangan my mom. Bener-bener usaha tanpa henti demi pantat panci. Tapi jangan marah, yah, Mi, kalo pancinya yang udah dicuci susah payah gosong lagi?




notebook CREAM BLOSSOM
Rp 25.000
ukuran: 16x17 cm 
isi: 40 hal warna kuning dan biru

Langganan: Postingan ( Atom )

Featured Post

DATA IN-OUT DUIT

28/9/2015 Kadang di akhir bulan kita bertanya kemana saja uang gaji yang kita terima. Kemana saja perginya uang-uang tadi? Kita hanya tahu...

Iklan Gratis
Memuat

Total Tayangan Halaman

Google
Custom Search

Categories

  • berhenti sejenak (38)
  • film (4)
  • language (9)
  • motivation (4)
  • my culture (2)
  • my friend (2)
  • my mind (49)
  • my observ (40)
  • my resep (1)
  • the world (61)
  • tips (9)
  • tips: berpakaian (3)
  • tips: kesehatan (3)
  • tips: perawatan (1)

My Blog List

Diberdayakan oleh Blogger.

about me

Foto saya
limun
Hello, I'm Limun. I try really hard to fix my own life. You too? Manage my time and my life.
Lihat profil lengkapku

my friend

Archive

  • ► 2025 (2)
    • ► Juni (1)
    • ► Mei (1)
  • ► 2021 (8)
    • ► Desember (1)
    • ► November (3)
    • ► Maret (4)
  • ► 2020 (6)
    • ► Juli (2)
    • ► Juni (4)
  • ► 2019 (17)
    • ► Juni (6)
    • ► Maret (4)
    • ► Februari (7)
  • ► 2018 (15)
    • ► Oktober (8)
    • ► September (3)
    • ► Mei (1)
    • ► April (3)
  • ► 2017 (29)
    • ► Oktober (2)
    • ► September (4)
    • ► Agustus (3)
    • ► Mei (7)
    • ► April (6)
    • ► Maret (1)
    • ► Februari (6)
  • ► 2016 (63)
    • ► Desember (24)
    • ► November (23)
    • ► Oktober (8)
    • ► Juni (4)
    • ► Maret (4)
  • ▼ 2015 (95)
    • ▼ Desember (3)
      • LIVING TOGETHER
      • PRASANGKA
      • abau and one goods
    • ► November (8)
      • Bimbel part 3
      • Lihat Hasilnya!!!!
      • Bimbel part 2
      • MINI KIMONO
      • Lempar Bola
      • PERMAK CELANA
      • Sewing Pouch
      • Permak Gamis
    • ► Oktober (11)
      • Pin Cushion
      • Kantor Pos, Surat, Tabungan dan Masa SD
      • REUSE DOMPET
      • Pujian
      • ALASAN
      • KASIH TAHU ENGGAK, YAH?
      • JUJUR SOAL UANG
      • TEH MANIS
      • Pada Masa Jayanya
      • KEBUTUHAN
      • Bimbingan Belajar (bag. 1)
    • ► September (11)
      • DATA IN-OUT DUIT
      • Awal Suka Rusia
      • MASA TUNGGU
      • BIJI BEKEL
      • IMIGRAN DAN HIJRAH
      • Uang Koin
      • BOTOL BEKAS UNTUK TRAVELING
      • Habis Sampai Titik Terakhir
      • TELOR
      • GOSONG
      • Notebook Handmade "Cream Blossom"
    • ► Juni (3)
    • ► Mei (2)
    • ► April (40)
    • ► Maret (17)
  • ► 2014 (11)
    • ► November (1)
    • ► Oktober (3)
    • ► September (6)
    • ► Februari (1)
  • ► 2012 (16)
    • ► Desember (1)
    • ► Januari (15)
  • ► 2011 (26)
    • ► Desember (3)
    • ► November (3)
    • ► Oktober (2)
    • ► September (3)
    • ► Agustus (1)
    • ► Juli (4)
    • ► Juni (3)
    • ► Mei (7)
  • ► 2010 (10)
    • ► Juni (1)
    • ► April (1)
    • ► Maret (1)
    • ► Januari (7)
  • ► 2008 (1)
    • ► Oktober (1)
AllBlogTools.com Blogger Templates

Latest Posts

  • Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara
    Awalnya saya mencari-cari dimana Skotlandia? Dimana letak negara ini? Kalian tahu dimana? Beberapa tahun kemudian saya tahu dimana letak...
  • WhatsApp Initializing
    Pernah mengalami WhatsApp susah di-instal ulang? Notifnya “initializing” atau apalah ejaan Inggrisnya. Saya pernah mengalami kejadian i...
  • Pekerjaan Suami Saya Cuma Petani
    Kalo lagi kumpul-kumpul bareng teman lama, terutama karena udah pada berkeluarga, pasti ngomongin pekerjaan suami. Beberapa teman bisa ...

Visitors

free counters
Free counters
Copyright 2014 Journey of My Life.
Distributed By My Blogger Themes | Designed By OddThemes