Kantor Pos, Surat, Tabungan dan Masa SD


Hal yang paling banyak mengisi kenanganku waktu SD adalah surat-menyurat. Tahun 2000 aku pindah ke Ciniru, Kuningan. Aku meninggalkan teman-teman kelas empatku di SD Tanah Baru,  meninggalkan jabatan ketua kelas tanpa sempat memilih siapa penggantiku, meninggalkan sepupu, keluarga besar, dan semuanya. Di tempat yang baru, aku dengan mudah mendapatkan teman tanpa perlu menunggu berganti hari. Tapi itu tidak membuatku berhenti berhubungan dengan mereka. Ada dua orang yang rutin kukirimi surat: sepupuku dan kakek. Karena letak kantor pos tidak jauh dari sekolah dan rumahku, kantor pos adalah kantor pertama yang paling sering kukunjungi. Tidak hanya mengirim surat, tapi juga menabung. Saat itu aku nabung di Batara yang bekerja sama dengan pos. Awalnya, aku kira tabungan Batara adalah milik pos. Tapi ternyata bukan. Ada lebih dari tiga buku tabungan berwarna kuning dengan gambar celengan tanah liat di sampul depannya yang kusetorkan setiap ke sana: punyaku dan dua saudaraku. Yang paling membuatku kagum adalah cara pak pos memberi cap di buku tabungan dan prangko surat. Capnya bukan cap biasa. Tapi seperti palu, sehingga menimbulkan suara pukulan yang keras.
Pak posnya pun mengenalku sebagai anak SD yang selalu datang untuk mengirim surat atau menabung. Pak Edi(nama pak posnya) selalu menunggu kapan aku datang. Setiap aku datang, beliau sudah hafal. Kadang bukan hanya surat yang kukirim, kalo ada undian di TV atau majalah Bobo, aku suka iseng-iseng ngirim. Entah karena alasan apa, aku selalu mendapatkan majalah sapen(sahabat pena) dari kantor pos. Gratis. Mungkin emang gratis. Karena sudah biasa, aku selalu datang ke kantor pos sambil membawa surat untuk sepupuku atau kakek dan Pak Edi memberikan majalah Sapen jatah untukku. Tapi aku belum pernah mencoba punya sahabat pena. Aku sudah punya sapen: sepupu dan kakek. Aku pernah mengirim surat untuk dua teman SD-ku di Depok, tapi hanya sekali balas. Jadi aku lebih sering bertukat surat dengan sepupuku dan kakek. Tapi sayang, hanya tersisa satu surat dari sepupuku dan kakek yang masih kusimpan sampai sekarang.
Kantor pos di Ciniru sangat sederhana, kecil dan lantai pelurnya sudah bolong di beberapa tempat. Ada kawat yang memisahkan antara ruangan Pak Edi dan pengunjung yang tingginya dari atas meja—seperti meja antara nasabah dan teller di bank, tapi dari kayu—kira-kira satu meter. Ada kotak pos dari kayu di belakang pintu masuk yang lubangnya ada di dinding luar di samping pintu masuk. Satu-satunya kotak pos besi di Ciniru yang pernah kulihat hanya di pasar. Pertama kali melihat kotak warna oren itu aku begitu antusias.
Saat ini mungkin surat sudah jarang digunakan, tapi itu akan menjadi kenangan paling berharga dari masa SD-ku. Bahkan saat aku masuk pesantren, satu yang kucari dan menjadi pusat perhatianku adalah kotak pos.
Belum lama ini aku melihat kantor pos baru di dekat rumahku di Curug. Entahlah, tapi aku senang melihatnya. Dari kantor pos aku belajar menulis surat dan menanbung. Ngomong-ngomong soal tabungan Batara, saat itu cara menulis pembukuannya sangat kompleks. Ada kertas yang ditempel, dicap palu dan hanya untuk 4 kali transaksi per dua halamannya. Wajar kalo sering ganti buku. Dan bukuku yang paling cepat habis. Pernah pas mau nabung kertas yang buat ditempel di buku tabungan habis. Gak jadi nabung deh. Karena sering kirim surat, disaranin beli prangko yang banyak. 1500 atau 1000 gitu yang kata Pak Edi sampe sekitar 3 hari.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

I really thank you for looking and read my blog. Have a nice day! And always be a good person everyday

0 komentar:

Posting Komentar