Ini baru namanya reuse. Bikin pin cushion dengan wadah bentuk buah apel susah-susah gampang. Tapi jadi juga. Tidak harus wadah yang sama. Asal bisa berdiri dan ada wadahnya, apapun bisa jadi pin cushion. Gimana? Mau coba bikin sendiri?
Home
Archive for
Oktober 2015
Hal yang paling banyak mengisi
kenanganku waktu SD adalah surat-menyurat. Tahun 2000 aku pindah ke Ciniru,
Kuningan. Aku meninggalkan teman-teman kelas empatku di SD Tanah Baru, meninggalkan jabatan ketua kelas tanpa sempat memilih siapa penggantiku,
meninggalkan sepupu, keluarga besar, dan semuanya. Di tempat yang baru, aku
dengan mudah mendapatkan teman tanpa perlu menunggu berganti hari. Tapi itu
tidak membuatku berhenti berhubungan dengan mereka. Ada dua orang yang rutin
kukirimi surat: sepupuku dan kakek. Karena letak kantor pos tidak jauh dari
sekolah dan rumahku, kantor pos adalah kantor pertama yang paling sering
kukunjungi. Tidak hanya mengirim surat, tapi juga menabung. Saat itu aku nabung
di Batara yang bekerja sama dengan pos. Awalnya, aku kira tabungan Batara
adalah milik pos. Tapi ternyata bukan. Ada lebih dari tiga buku tabungan berwarna
kuning dengan gambar celengan tanah liat di sampul depannya yang kusetorkan
setiap ke sana: punyaku dan dua saudaraku. Yang paling membuatku kagum adalah
cara pak pos memberi cap di buku tabungan dan prangko surat. Capnya bukan cap
biasa. Tapi seperti palu, sehingga menimbulkan suara pukulan yang keras.
Pak posnya pun mengenalku sebagai
anak SD yang selalu datang untuk mengirim surat atau menabung. Pak Edi(nama pak
posnya) selalu menunggu kapan aku datang. Setiap aku datang, beliau sudah
hafal. Kadang bukan hanya surat yang kukirim, kalo ada undian di TV atau
majalah Bobo, aku suka iseng-iseng ngirim. Entah karena alasan apa, aku selalu
mendapatkan majalah sapen(sahabat pena) dari kantor pos. Gratis. Mungkin emang
gratis. Karena sudah biasa, aku selalu datang ke kantor pos sambil membawa
surat untuk sepupuku atau kakek dan Pak Edi memberikan majalah Sapen jatah
untukku. Tapi aku belum pernah mencoba punya sahabat pena. Aku sudah punya sapen:
sepupu dan kakek. Aku pernah mengirim surat untuk dua teman SD-ku di Depok,
tapi hanya sekali balas. Jadi aku lebih sering bertukat surat dengan sepupuku
dan kakek. Tapi sayang, hanya tersisa satu surat dari sepupuku dan kakek yang
masih kusimpan sampai sekarang.
Kantor pos di Ciniru sangat
sederhana, kecil dan lantai pelurnya sudah bolong di beberapa tempat. Ada kawat
yang memisahkan antara ruangan Pak Edi dan pengunjung yang tingginya dari atas
meja—seperti meja antara nasabah dan teller di bank, tapi dari kayu—kira-kira
satu meter. Ada kotak pos dari kayu di belakang pintu masuk yang lubangnya ada
di dinding luar di samping pintu masuk. Satu-satunya kotak pos besi di Ciniru
yang pernah kulihat hanya di pasar. Pertama kali melihat kotak warna oren itu
aku begitu antusias.
Saat ini mungkin surat sudah
jarang digunakan, tapi itu akan menjadi kenangan paling berharga dari masa
SD-ku. Bahkan saat aku masuk pesantren, satu yang kucari dan menjadi pusat
perhatianku adalah kotak pos.
Belum lama ini aku melihat kantor
pos baru di dekat rumahku di Curug. Entahlah, tapi aku senang melihatnya. Dari kantor
pos aku belajar menulis surat dan menanbung. Ngomong-ngomong soal tabungan
Batara, saat itu cara menulis pembukuannya sangat kompleks. Ada kertas yang
ditempel, dicap palu dan hanya untuk 4 kali transaksi per dua halamannya. Wajar
kalo sering ganti buku. Dan bukuku yang paling cepat habis. Pernah pas mau
nabung kertas yang buat ditempel di buku tabungan habis. Gak jadi nabung deh.
Karena sering kirim surat, disaranin beli prangko yang banyak. 1500 atau 1000
gitu yang kata Pak Edi sampe sekitar 3 hari.
Dompet merah dengan latar pokemon ini adalah dompet saat aku kecil. Sudah lebih dari lima belas tahun dompet ini menemaniku. Sampai akhirnya aku berniat untuk sedikit mengubah tampilannya.
sisi luar
sisi dalam
Persiapan awal, kasih lem di seluruh sisi dan tengah dompet. Untuk lapisan luarnya, aku menggunakan kain yang agak yang seratnya mirip jeans, tapi lebih halus.
Setelah itu, jahit pinggiran dompet dengan benang rajut kain. Beri hiasan kancing-kancing lucu dan selesai!!!
How? You like it?
Siapa yang tidak suka dipuji? Ada mereka yang pandai memuji, ada yang tidak. Ada yang hati-hati dengan pujian, ada yang begitu mudah memuji. Ada yang segan memuji atau ada yang menganggap pujian tidak penting. Pujian bisa jadi sesuatu yang mahal untuk sebagian orang dan bisa jadi sebaliknya untuk sebagian yang lain. Pujian bisa jadi kebiasaan untuk orang tertentu, tapi tidak untuk yang lain.
Hal sederhana seperti pujian bahkan bisa jadi menjadi penyemangat untuk beberapa orang. Pujian bisa jadi bahan bakar untuk menjadi lebih baik. Sedikit pujian saja, terutama untuk orang terdekat, bisa menambah hubungan menjadi lebih baik. Pujian jadi bahan apresiasi paling mudah yang bisa dilakukan manusia. Tapi tidak semua orang bisa menyampaikan pujian dengan baik dan di saat yang tepat. Ada yang terlambat memuji, ada yang gengsi, ada yang mau memuji, tapi malah mengatakan sebaliknya, dan masih banyak lagi. Lebih mudah menghina dan menjelekkan orang lain dari pada memuji. Lebih mudah menemukan keburukan orang lain, dari pada kelebihannya. Memuji mungkin bukan kebiasaan 'baik' untuk sebagian orang, tapi dengan tidak mengatakan hal buruk, itu sudah lebih baik. Tidak ada salahnya sesekali memuji orang lain, walau hanya untuk hal-hal kecil.
Sayang, pujian juga bisa jadi pembawa kesombongan. Kesombongan akan kehebatan diri sendiri. Namun, sebagai yang memberikan pujian, berikan saja pujian tanpa peduli apa balasan dan tanggapannya nanti. Berbuat baik tidak harus mendapat balasan baik juga, kan? So, mulailah memuji mereka yang ada di dekat kita, sekecil apapun. Jadikan memuji kebiasaan baik dan mulailah belajar memberikan pujian yang baik, tidak berlebihan dan dengan hati yang tulus.
Pernah baca buku yang judulnya
“Making Excuses”? Lupa sih siapa yang nulis. Tapi efeknya abis baca cuma
bertahan sehari, dua hari. Besokannya yah kembali ke habitat.
Berhubungan dengan alasan, bukan
hal yang mudah beralasan di depan ayah saya. Selalu saja ada titik dimana
alasan yang saya atau anak-anaknya katakan bisa dengan mudah dipatahkan.
Sedikit menyusahkan, tapi di satu sisi itu juga yang membuat anak-anak mereka
berpikir sebelum meminta dan menerima nasehat orang tua tanpa membantah.
Ayah saya paling bisa menyudutkan
kalau ditanya tentang alasan, misalnya kenapa mau ambil jurusan X atau kalo
misalnya mau jalan-jalan. Ada aja pertanyaannya. Kadang jadi bikin males kalo
mau ngomong apa aja. Pasti ada aja kelemahannya. Jadi sebelum ngomong ke ayah,
udah keburu mikir pasti bakalan bilang gini, bilang gitu. Kami harus mempersiapkan alasan yang kuat apa dan
tepat kenapa mau ini-itu, kenapa pilih ini atau itu. (Tapi saya tetap suka cara
beliau mendidik anak-anaknya).
Orang tua saya tidak percaya kalo
anaknya tidak bisa mendapatkan nilai 9 untuk MTK di rapor. Walau mereka bukan
tipe orang tua yang: nanya nilai berapa, bagaimana sekolah dan ke sekolah untuk
ambil rapor, tapi mereka akan lebih antusias dengan MTK. Sepertinya bagi mereka
hanya ada dua matpel penting: MTK dan IPA. Mencari-cari alasan tidak suka MTK,
malas, atau gurunya tidak enak adalah alasan yang akan ditolak mentah-mentah.
Bagi mereka tidak ada yang susah dan sulit dalam belajar. Bagi mereka tidak ada
alasan untuk belajar dan tidak mendapatkan nilai sempurna. Itu juga mungkin
yang menyebabkan satu anak mereka suka hampir banyak hal karena dicekoki sikap
“tanpa alasan” dan tidak ada yang sulit. Tapi disatu sisi membuatnya sulit menolak
karena tidak mudah membuat alasan.
Entah sudah berapa kali kita
membuat alasan. Dari yang cuma untuk menghindari satu hal sampai menolak dengan
halus atau dari berbohong sedikit sampai alasan yang ngeyel minta ampun. Untuk
beberapa hal, ada alasan yang bisa diterima, seperti: sakit, acara keluarga
(mau itu suka atau duka), musibah becanda alam. Tapi banyak alasan yang dibuat
sepele. Seperti alasan malas.
Kadang saya suka sebel sama
mereka yang beralasan malas. Tapi jika saya seperti dia, juga beralasan malas
karena menolak melakukan sesuatu, itu seperti makan kata-kata sendiri. Karena
berpikir tidak punya alasan yang kuat untuk menolak, kadang mau gak mau ya
nerima aja kalo ada yang minta tolong ato dilarang orang tua.
Karena didikan ayah, saya pun belajar
untuk membuat alasan yang bisa diterima. Berani menolak sesuatu tidak selamanya
buruk. Selama itu tidak merugikan kedua belah pihak atau bisa mengganggu
aktivitas saya, maka tidak ada salahnya membuat alasan. Tidak selamanya kita
sanggup mengerjakan satu tugas.
Antara ngasih tau sama pengen mereka
belajar sendiri, jadi dilema. Hampir setiap anak di tempat saya bimbel, apalagi
yang SD, lebih siap menunggu jawaban daripada mencari jawaban. Rata-rata anak
kelas 4 dan 5 SD yang malas, lebih tidak sabaran untuk menyelesaikan PR karena
gurunya lama ngasih jawaban, terutama matpel MTK. Kalo disuruh ngitung,
bilangnya “enggak tahu” mulu. Perkalian belum hafal sampai 6. Pembagian enggak
bisa. Pengurangan yang minjem atu juga masih bingung. Maunya “kakak cepet
jawabannya apa.” Pelajaran yang hanya perlu dibaca aja lebih suka kakak
pembimbingnya yang nyari. Saya selalu mengatakan “baca, di buku pasti ada
jawabannya.” Kalo enggak ampuh juga, saya buka halaman yang ada jawabannya dan
menyuruhnya baca. Kadang kalo udah dapet jawabannya, senyum malu sendiri,
kadang bener-bener gak ngeh kalo jawaban ada dari teks yang tadi dibaca.
Bener-bener pengen nulis jawabannya aja. Jadinya prihatin.
Kesimpulannya, mereka datang
konsultasi ke tempat bimbel hanya untuk mendapatkan jawaban dan nilai bagus.
Bukan mencari pemahaman. Susah-susah gampang untuk mengatakan pada anak kelas 4
atau 5 SD tentang memahami pelajaran. Tapi semoga aja ada yang masuk ke pikiran
mereka lewat suara guru-guru yang menerangkan cara mengerjakan soal, misalnya
FPB dan KPK.
Jujur tentang keuangan? Pernahkah
kita benar-benar jujur tentang uang? Saya tidak yakin kalau kita bisa sejujur
itu. Dalam satu keluarga aja belum tentu. Tidak ada yang mengaku siapa yang
masih punya uang—apalagi kalo misalnya itu uang tabungan untuk beli sesuatu
atau uang simpenan.
Saat Umi mau pinjam uang untuk
kembalian, jarang ada yang langsung menawarkan, kecuali Umi dengan jelas bilang
“De, pinjem sepuluh buat kembalian.” Si sodara yang uangnya aman bisa bernapas
lega. Setelah itu, Umi akan ngasih uang satu lembar warna biru, sambil bilang
“buat ongkos” atau “buat pegangan.” Tapi gak jarang juga Umi lupa. Tapi intinya
bukan itu—bukan Umi yang minjem uang buat kembalian pasien.
Anak-anak Umi berusaha
menyembunyikan berapa uang yang masih dipegang a.k.a. di dompet—padahal sumber
utamanya Umi. Berusaha tidak terlihat paling banyak uang—yang paling kisarannya
tidak sampai 200 ribu. Masalahnya, uang yang kami pegang adalah uang darurat
kalo-kalo enggak dikasih ongkos karena Umi lagi banyak pengeluaran atau uang
yang kami tabung untuk beli baju. Kami tahu tidak mudah meminta apa yang kami
butuhkan ke Umi. Biasanya jawaban Umi adalah “iya” dan “sabar aja, kalo ada
uangnnya pasti dikasih.” Masalahnya tidak pernah ada tenggat waktu kapan akan
dipenuhi. Jadilah kami berusaha mengumpulkan uang dari sisa uang saku. Dan faktor
penting lainnya, karena kalo enggak pegang uang kayaknya gak bisa
ngapa-ngapain. Setidaknya ada sepuluh ribu aja di dompet buat beli pulsa.
Selain dari orang tua, kadang
sodara atau nenek juga suka ngasih. Tapi biasanya kami tidak mengatakan jika
ada orang lain yang memberikan uang—kecuali keadaan tertentu. Jadinya,
kadang—sesama anak—kami saling mencurigai siapa yang masih punya uang simpenan.
Biasanya kalo itu untuk kebutuhan pribadi, seperti pulsa atau peralatan mandi,
kami pake uang sendiri. Tapi kadang kalo sedang dalam proses ngumpulin duit,
kami minta sama Umi. Karena Umi bukan pegawai yang gaji bulanannya pasti, bisa
saja saat minta uang, ternyata lagi kosong. Untuk yang suka ngeteh atau ngopi,
terpaksa ditunda dulu karena Umi belom beliin. Dengan sabar nunggu uang untuk
beli teh celup sekotak.
Karena beberapa alasan dan
kondisi tertentu, kadang Umi kalo lagi gak ada uang, yah bener-bener enggak
ada. Jadi, kalo mau pergi-pergi yang penting ada buat ongkos. Tandanya ada yang
masih punya uang adalah bisa pergi. Kalo ada yang mau keluar rumah, entah untuk
urusan kuliah, kerja atau jalan sama temen, berarti masih punya simpenan. Yah,
kadang demi uang bisa individual tingkat dewa. Bahkan sama sodara sendiri. Kalo
ongkos cuma cukup buat berangkat, minjem deh sama yang lain. Kadang digantiin
kadang enggak. Kadang ada yang bilang “entar minta Umi gantiin.” Buat anak
baik, enggak bakalan tega minta sama Umi. Udah ikhlasin aja. Entar gantian kalo
enggak punya ongkos balik minjem.
Biasanya dari hasil uang
ongkoslah kami bisa punya tabungan atau uang cadangan—satu-satunya cara minta
uang yang pasti dikasih. Kalo selama hari kerja masih dikasih uang ongkos sama
Umi, berarti uang cadangan aman. Kadang, sih, Umi nanya “masih punya ongkos?”
(yang jadi indikator kalo keuangan lagi buruk). Yang ditanya geleng. Bukannya
pelit sama sodara, tapi karena tau pada punya uang simpenan, kadang suka cuek
aja kalo ada yang enggak jadi pergi karena enggak dikasih ongkos. Bisa aja dia
enggak mau keluar uang sendiri atau emang lagi hemat—penuh kecurigaan. Kalo
emang keperluan keluar enggak penting-penting amat, apalagi kalo pas ditanya
Umi mau kemana dan ternyata enggak bermanfaat amat, yah, di-cancel deh
perginya. Pokoknya gimana caranya biar uang simpenan sendiri aman. Kalo perlu
dianggap enggak punya uang.
Ada saat-saat dimana sesama
sodara “kejam” untuk urusan uang pribadi, tapi ada saat dengan mudahnya ngasih
uang tanpa diminta. Di satu sisi kami jadiin becandaan, di satu sisi jadi
privasi masing-masing, di satu sisi saling menyindir, tapi kami tahu kalau
masing-masing dari kami punya keperluan yang memang dibutuhkan yang tidak bisa
diganggu, kami tahu kalau uang yang kami kumpulkan untuk apa. Tahu kapan saat
uang bisa dihabiskan untuk jajan capcin atau kriuk-kriuk, tahu kapan saat yang
tepat untuk pergi jalan, dan tahu kapan kira-kira buat beli teh, gula, dan
kopi. (3/10/15)
Lagi ngobrol-ngobrol sama Balqis di meja konter saat dia sedang konsul pelajaran. Saya sedang mengecek absen-absen dan absen bimbingan per kelas. Gak tau dari mana mulainya, tau-tau udah ngomongin teh manis. Ternyata Balqis suka teh manis. Kadang sarapan juga pake teh manis. Saya senyum-senyum. Senyum karena mengingatkan saya pada kebiasaan harian di pagi hari yang juga dimulai sejak kecil.
Teh manis yang harus pekat, sepat, dan cukup 2-3 sendok teh gula adalah menu sarapan rutin saya. Mungkin karena ibu saya selalu mengingatkan untuk sarapan, walau itu hanya secangkir teh manis, sampai sekarang kebiasaan minum teh pagi tidak pernah hilang.
Berbincang dengan Balqis, murid kelas enam yang bimbel di tempat saya membuat saya berpikir kalau kami punya beberapa kesamaan. Selain suka teh manis, Balqis juga minum kopi, tapi hanya setengah bungkus. Lagi-lagi itu mengingatkan saya dengan masa kecil saya. Entah siapa yang membuat saya minum kopi dari kecil. Bisa karena isi rumah saya saat itu ada sodara yang tinggal bersama kami yang seperti kebanyakan orang kampung, minum kopi item di pagi hari. Tapi yang saya minum bukan kopi tubruk, kopi item, tapi kopi item Nescafe yang biasa dicampur cream. Gara-gara ada parcel, ya, saya seduh aja. Minum kopi bukan kebiasaan tiap hari saya, kadang-kadang aja kalo ada. Yang wajib ada sebenarnya susu. Bukan teh manis atau kopi. Baru deh pas gede, pas udah gak minum susu lagi, ganti sama teh manis.
Saya pun mengajak Balqis tos setiap ada yang sama. Selesai dengan obrolan, kami melanjutkan konsul pelajaran. Kata Balqis, besok dia ulangan. (2/10/2015)
Teh manis yang harus pekat, sepat, dan cukup 2-3 sendok teh gula adalah menu sarapan rutin saya. Mungkin karena ibu saya selalu mengingatkan untuk sarapan, walau itu hanya secangkir teh manis, sampai sekarang kebiasaan minum teh pagi tidak pernah hilang.
Berbincang dengan Balqis, murid kelas enam yang bimbel di tempat saya membuat saya berpikir kalau kami punya beberapa kesamaan. Selain suka teh manis, Balqis juga minum kopi, tapi hanya setengah bungkus. Lagi-lagi itu mengingatkan saya dengan masa kecil saya. Entah siapa yang membuat saya minum kopi dari kecil. Bisa karena isi rumah saya saat itu ada sodara yang tinggal bersama kami yang seperti kebanyakan orang kampung, minum kopi item di pagi hari. Tapi yang saya minum bukan kopi tubruk, kopi item, tapi kopi item Nescafe yang biasa dicampur cream. Gara-gara ada parcel, ya, saya seduh aja. Minum kopi bukan kebiasaan tiap hari saya, kadang-kadang aja kalo ada. Yang wajib ada sebenarnya susu. Bukan teh manis atau kopi. Baru deh pas gede, pas udah gak minum susu lagi, ganti sama teh manis.
Saya pun mengajak Balqis tos setiap ada yang sama. Selesai dengan obrolan, kami melanjutkan konsul pelajaran. Kata Balqis, besok dia ulangan. (2/10/2015)
Seorang teman pernah berkata: "setiap orang punya masa jayanya masing-masing."
Teman saya ini mengatakannya saat kelas sepuluh. Waktu itu sih saya tidak terlalu paham, tapi sekarang saya tahu apa maksudnya.
Tidak mudah sukses di usia muda. Mereka yang sukses saat muda lebih sedikit dibanding yang sukses di atas usia 30-an atau 40-an. Menjadi sukses di usia muda adalah impian hampir setiap orang. Tapi yang terpenting adalah pantang menyerah dalam mengejar impian kita. Bukan masalah usia. Umur tidak lah penting. Beberapa orang bisa sukses saat muda dan sebagian lain di usia matang. Tahu Mang Saswi? Ngaku siapa aja yang baru tau beliau sekarang? Saya termasuk yang mengacungkan tangan. Padahal beliau pernah main di film "Petualangan Sherina" dan "Untuk Rena". Berarti Mang Saswi sudah cukup lama kan di dunia hiburan? Tapi baru terkenal sekarang. Ada lagi ibunya Romaria. Apa beliau pernah berpikir untuk tampil di TV? Atau Kang Komar. Lewat perjuangan bertahun-tahun tanpa putus asa, akhirnya beliau bisa terkenal sekarang.
Itulah maksud kalimat teman saya. Kita mungkin tidak sukses saat ini, tapi yakinlah akan ada masanya bagi kita untuk berjaya. Mungkin kita sudah lama menulis, tapi masih juga belum berjodoh dengan penerbit manapun. Tapi yakinlah, suatu saat akan datang masa jaya kita. Mungkin saat ini kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan, tapi yakinlah dengan usaha kita akan menemukan apa yang menjadi passion kita. Tidak usah pedulikan mereka yang sudah merasakan keberhasilan usaha. Yang terpenting adalah tetap berusaha tanpa perlu menghitung kapan masa jaya kita datang. Hilangkan ketakutan dan keraguan dari dalam diri kita dan orang-orang di sekitar yang pesimis. Dan katakanlah pada diri sendiri bahwa masa jaya kita akan segera datang.
See ya...
See ya...
"Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, tapi apa yang kita butuhkan."
Kalimat bijak tadi pasti sudah sangat sering kita dengar. Mungkin yang jadi masalah adalah apa kita bisa membedakan mana yang kita inginkan dan mana yang kita butuhkan. Perbedaannya pasti sangat tipis, sampai-sampai tak terlihat. Tentang kebutuhan, mungkin kadang disamarkan dengan keinginan, begitu pun sebaliknya. Kita lebih mudah tahu apa yang diinginkan dari pada yang dibutuhkan. Seperti halnya makan. Kita selalu kalap karena keinginan, padahal kebutuhan energi atau kalori kita tidak sebanyak yang kita kira. Pernah lihat informasi nilai gizi di bungkus makanan? Di situ ditulis "kebutuhan kalori Anda bisa lebih atau kurang." Dengan kata lain, kebutuhan setiap orang tidak bisa dipukul rata. Tapi kita sendiri--sekali lagi--tidak tahu kebutuhan kalori sendiri. Kita juga kadang membeli barang yang kita mau, bukan yang kita butuhkan.
Apa kita sungguh butuh baju baru? Atau apa kita sungguh tidak cocok dengan pekerjaan kita?
Pernah mendengar "tambahkan sesuai kebutuhan"? atau "berikan secukupnya"? Biasanya saat menonton acara memasak, saat si chef menambahkan garam atau penyedap rasa, dia akan mengatakan kalimat tadi. Atau "belilah sesuai kebutuhan", "Kami menyediakan apa yang Anda butuhkan", "Apa saja yang Anda butuhkan?" Kata "butuh" atau "membutuhkan" terdengar lebih bijak dari pada "keinginan" atau "ingin".
Sekali lagi, tidak mudah untuk tahu apa yang kita butuhkan. Karena itu muncul kalimat bijak di atas tadi. Kita tetap boleh meminta apa yang kita inginkan lewat doa, tapi apakah akan dikabulkan atau tidak, itu tergantung apakah menurut-Nya kita butuh. Dia melihat kebutuhan kita, bukan apa kita inginkan.
See ya...
Apa kita sungguh butuh baju baru? Atau apa kita sungguh tidak cocok dengan pekerjaan kita?
Pernah mendengar "tambahkan sesuai kebutuhan"? atau "berikan secukupnya"? Biasanya saat menonton acara memasak, saat si chef menambahkan garam atau penyedap rasa, dia akan mengatakan kalimat tadi. Atau "belilah sesuai kebutuhan", "Kami menyediakan apa yang Anda butuhkan", "Apa saja yang Anda butuhkan?" Kata "butuh" atau "membutuhkan" terdengar lebih bijak dari pada "keinginan" atau "ingin".
Sekali lagi, tidak mudah untuk tahu apa yang kita butuhkan. Karena itu muncul kalimat bijak di atas tadi. Kita tetap boleh meminta apa yang kita inginkan lewat doa, tapi apakah akan dikabulkan atau tidak, itu tergantung apakah menurut-Nya kita butuh. Dia melihat kebutuhan kita, bukan apa kita inginkan.
See ya...
Untuk guru-guru TK dan guru SD, pasti sangat paham dengan tingkah laku anak-anak muridnya yang ajaib dan di luar prediksi. Ada saja tingkah dan keributan yang terjadi. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana harus mengatur 20-an atau 30-an lebih siswa.
Saya pikir tidak akan pernah mengajar SD di bawah kelas 6. Saya bahkan tidak pernah mengajar anak-anak. Sebagai keterangan, saya bukanlah guru, hanya membantu membimbing adik-adik di tempat bimbel.
Sungguh saya tidak pernah mengira kalau mereka bIsa begitu atraktif dan membuat saya berpikir untuk resign. Kadang saya begitu kesal, tapi harus bisa tersenyum di depan mereka. Tidak semua peserta bimbel SD banyak gerak. Hanya ada satu untuk tiap kelas. Tapi itu sudah cukup menyita perhatian saya.
Sabtu kemarin, saya kembali harus menghadapi dua kakak-beradik yang bisa membuat mood saya naik-turun. Adalah Syahira--kakak--dan Salman yang harus selalu saya ingatkan untuk setidaknya sebentar saja memerhatikan pelajaran bahasa Inggris yang sedang saya jelaskan. Mereka berdua les bahasa Inggris. Si kakak kelas 5 dan si adik kelas 3. Sejak awal si adik sudah susah untuk diatur. Bisa dibilang hiperaktif--tapi saya memilih untuk tidak menggunakan istilah tadi. Mereka di tempatkan di jam dan kelas yang sama. Awalnya saya menyamakan materi untuk mereka berdua, tapi selanjutnya saya bedakan, mengingat si kakak sudah lebih banyak mengenal kosakata bahasa Inggris. Belum lama ini jadwal mereka dipisah, hanya beda jam.
Seperti biasa saya harus mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan keusilan dan tingkah Salman. Karena kemaren saya tidak terlalu mempersiapkan materi, akhirnya kami membahas tentang perhiasan dan bahasa Inggrisnya. Di awali dengan cerita mereka yang pergi ke pasar--padahal saya sedang menjelaskan tentang market. Jadilah setelah mengetahui bahasa Inggris dari setiap perhiasan mereka bercerita tentang toko emas langganan ibu mereka, ibu-ibu di pasar yang kejambret karena memakai perhiasan berlebihan. Itu salah satu taktik saya agar mereka tenang, tapi sedikit belajar. Keadaan awal terkendali, tapi di akhir pelajaran Salman mulai bertingkah. Mulai dari rebutan spidol dengan Syahira, peluk-peluk si kakak, dan naik ke atas kursi--yang diikuti si kakak. Syahira teriak-teriak karena Salman terus memeluknya--yang menurut saya bagian dari keakraban mereka. Saya pun memutuskan untuk pindah tempat. Di luar kelas, mereka masih bertingkah. Syahira sudah duduk, tapi Salman lari ke sana-kemari, naik ke atas meja dan keluar-masuk rumah les. Karena sudah habis jamnya, saya pun duduk-duduk, tidak peduli dengan Salman. Tapi itu tidak membuatnya berhenti. Dia masih mencari perhatian dengan guru lain. Karena sudah lelah dengan tingakh si adik, Syahira juga hanya duduk. Saya pergi sholat, yang setelahnya saya menghubungi ibu mereka untuk dijemput karena agak lama datangnya. Barulah saat saya sudah pamitan pada mereka berdua, Salman duduk diam.
Itu baru satu murid, masih ada satu lagi yang begitu sulit untuk diajak fokus dan dua lagi yang mulai banyak tingkah. Hari sabtu ini cukup. Saya harus pulang untuk istirahat dan makan.
Saya pikir tidak akan pernah mengajar SD di bawah kelas 6. Saya bahkan tidak pernah mengajar anak-anak. Sebagai keterangan, saya bukanlah guru, hanya membantu membimbing adik-adik di tempat bimbel.
Sungguh saya tidak pernah mengira kalau mereka bIsa begitu atraktif dan membuat saya berpikir untuk resign. Kadang saya begitu kesal, tapi harus bisa tersenyum di depan mereka. Tidak semua peserta bimbel SD banyak gerak. Hanya ada satu untuk tiap kelas. Tapi itu sudah cukup menyita perhatian saya.
Sabtu kemarin, saya kembali harus menghadapi dua kakak-beradik yang bisa membuat mood saya naik-turun. Adalah Syahira--kakak--dan Salman yang harus selalu saya ingatkan untuk setidaknya sebentar saja memerhatikan pelajaran bahasa Inggris yang sedang saya jelaskan. Mereka berdua les bahasa Inggris. Si kakak kelas 5 dan si adik kelas 3. Sejak awal si adik sudah susah untuk diatur. Bisa dibilang hiperaktif--tapi saya memilih untuk tidak menggunakan istilah tadi. Mereka di tempatkan di jam dan kelas yang sama. Awalnya saya menyamakan materi untuk mereka berdua, tapi selanjutnya saya bedakan, mengingat si kakak sudah lebih banyak mengenal kosakata bahasa Inggris. Belum lama ini jadwal mereka dipisah, hanya beda jam.
Seperti biasa saya harus mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan keusilan dan tingkah Salman. Karena kemaren saya tidak terlalu mempersiapkan materi, akhirnya kami membahas tentang perhiasan dan bahasa Inggrisnya. Di awali dengan cerita mereka yang pergi ke pasar--padahal saya sedang menjelaskan tentang market. Jadilah setelah mengetahui bahasa Inggris dari setiap perhiasan mereka bercerita tentang toko emas langganan ibu mereka, ibu-ibu di pasar yang kejambret karena memakai perhiasan berlebihan. Itu salah satu taktik saya agar mereka tenang, tapi sedikit belajar. Keadaan awal terkendali, tapi di akhir pelajaran Salman mulai bertingkah. Mulai dari rebutan spidol dengan Syahira, peluk-peluk si kakak, dan naik ke atas kursi--yang diikuti si kakak. Syahira teriak-teriak karena Salman terus memeluknya--yang menurut saya bagian dari keakraban mereka. Saya pun memutuskan untuk pindah tempat. Di luar kelas, mereka masih bertingkah. Syahira sudah duduk, tapi Salman lari ke sana-kemari, naik ke atas meja dan keluar-masuk rumah les. Karena sudah habis jamnya, saya pun duduk-duduk, tidak peduli dengan Salman. Tapi itu tidak membuatnya berhenti. Dia masih mencari perhatian dengan guru lain. Karena sudah lelah dengan tingakh si adik, Syahira juga hanya duduk. Saya pergi sholat, yang setelahnya saya menghubungi ibu mereka untuk dijemput karena agak lama datangnya. Barulah saat saya sudah pamitan pada mereka berdua, Salman duduk diam.
Itu baru satu murid, masih ada satu lagi yang begitu sulit untuk diajak fokus dan dua lagi yang mulai banyak tingkah. Hari sabtu ini cukup. Saya harus pulang untuk istirahat dan makan.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)