Journey of My Life

seputar catatan yang katanya jurnal

  • Home
Home Archive for April 2015
Seorang teman yang sudah lama mengajar anak-anak SD menceritakannya pada saya. Teman saya ini bekerja sebagai guru di sekolah alam. Uniknya, yang sekolah bukan hanya anak-anak biasa, tapi juga yang berkebutuhan khusus. Well, dia mengatakan tidak mudah mengajar anak-anak sekolah alam yang rata-rata sangat aktif. Harus sabar dalam berbicara dengan anak-anak. Kelihatannya mereka seperti tidak menangkap apa yang orang dewasa katakan. Mereka seperti tidak fokus mendengarkan. Tangan yang bergerak-gerak, mata yang melihat kemana-mana, dan bahasa tubuh yang seperti tidak bersabar untuk kembali bermain. Tapi ada satu ketika saat teman saya melihat anak muridnya yang melerai temannya yang bertengkar, dia berpikir kalau hal itu sama seperti yang pernah dia lakukan saat ada anak muridnya ribut.
Anak-anak memang tidak pernah gagal meniru. Menirukan apa yang orang dewasa lakukan. Mereka seakan kamera CCTV yang merekam apa saja yang lewat di depan matanya. Menyimpannya dengan baik. Dan dikeluarkan jika kondisinya sama seperti apa yang dilihat.
Saya pun berpikir, bisa saja apa yang saya lakukan sekarang, tindakan yang saya lakukan, dipengaruhi oleh apa yang orang tua saya lakukan saat kecil. Gaya makan saya dan saudara saya sama seperti ibu saya. Padahal beliau tidak pernah mengajarkannya secara langsung lewat ucapan. Lalu saat adik saya ngeles kalo ketahuan bohong atau ngeles minta dibeliin apa gitu, sama seperti ayah saya.
Teman saya ini juga mengatakan kalo kita sebenarnya menirukan apa yang orang lain lakukan, sadar atau tidak. Sebenarnya kita saling mengkopi prilaku. Saling memengaruhi, sadar atau tidak. Kembali ke anak-anak, mungkin mereka tidak mendengarkan, tapi mereka tidak pernah gagal menirukan.
Saya pertama kali mendengar istilah ini dari Uwak yang cerita tentang Ibu saya. Uwak bilang, Ibu saya kalo pake apa aja pas, cakep, cocok. Gak kayak orang-orang yang mungkin hanya cocok dengan tipe baju tertentu, yang tidak bisa asal pake jenis baju.
Pernah lagi itu Ibu saya mau kondangan, beliau nanya pendapat Uwak, udah rapi belom, pantes gak. Kata Uwak, "Kamu mah, Mi, badan sampiran. Apa aja cakep". 
Kalo kata orang Betawi, kalo ada orang yang pake apa aja cakep disebutnya badan sampiran. Istilah ini kayaknya udah gak umum sekarang. Kamu pernah denger istilah ini?
Banyak alternatif sebenarnya. Ini soal mau berubah lebih baik dan membiasakan diri. Selalu ada alternatif dari banyak hal agar lebih baik. Kadang karena kita sudah terlalu terbiasa dengan sistem tertentu, jadi saat berubah kebiasaan jadi kaget deh.
Saya suka melihat tayangan TV yang menampilkan kehidupan masyarkat yang memanfaatkan biogas. Mereka sepertinya tidak akan terganggu dengan harga LPJ atau bahan bakar untuk memasak yang naik. Mereka bisa tenang-tenang saja, kan? Berbeda dengan mereka yang tergantung pada bahan bakar dari pemerintah. Kemandirian memang lebih membuat hidup tenang. Dengan memanfaatkan bahan lain yang alam sediakan, mereka bisa terbebas dari salah satu hal pokok dalam hidup. Mereka bisa lebih fokus pada hal pokok lain. Mereka bisa menggunakan uang untuk kebutuhan lain. Akan jadi hal yang luar biasa saat penggunaan biogas menjadi umum. Iya, kan? Sepertinya bukan saya saja yang berpikiran begitu. Sampah rumah tangga juga bisa dimanfaatkan jadi biogas, kan?
Senang mendengarnya saat banyak masyarakat yang memanfaatkan bahan lain untuk kebutuhan rumah tangganya. Senang mendengarnya saat ada kelompok masyarakat yang tahu bagaimana mengolah sesuatu menjadi sesuatu.

Seberapa sering kita jalan kaki? Seberapa kuat kita jalan kaki? Umumkah jalan kaki saat ini?

Jalan kaki adalah kegiatan yang saya suka. Secara saya gak bisa lari. Jalan dari UI ke Gramedia Margonda atau dari stasiun Depok Baru sampe jalan Nusantara dijabanin.  Saya lebih pilih jalan kalo jarak dekat. Feel-nya udah kayak jalan di kota-kota yang umum dengan pejalan kaki. Bayangin aja kayak gitu. Dari kecil, jaman SD yang belom ada rute angkot, anak sekolah jalan kaki adalah hal biasa. Sekarang, you know lah kendaraannya.
Setiap jalan kaki pagi saat pergi kerja, ada aja orang yang harus disapa. Maklum, sekampung sodara semua. Ada yang mau ke warung beli sayur. Ada yang lagi nyapu depan rumah. Macam-macam lah. Satpam komplek juga udah apal kalo saya pasti lewat jam sekian. "Berangkat, Neng?" atau "Dianter gak?" Pagi-pagi jadi udah senyum sana, senyum sini. Bikin pagi tambah semangat. Kadang sambil jalan suka inget dulu nih jalan kanan-kiri kebon semua, empang, kebon salak. Kata orang dulu, kalo malem-malem pasti kalo lewat situ ada yang ngetawain--apa ayo? Tapi sekarang udah rumah semuanya. Udah jadi enam perumahan berbeda. Jadi, kalo pulang malem, tenang aja. Paling yang nyapa satpam--yang rata-rata masih sodara. Udah bukan Miss K atau Om gede itu tuh. Hehe...
Jadi, masih suka jalan kaki? Udah jalan aja, kecuali pas tengari bolong.
Bye...

Dari jaman kuda sampai jaman orang naek motor, tunggangan adalah kebanggaan. Semakin bagus dan baik tunggangan, semakin tinggi nilai prestisiusnya. Tunggangan bisa saja berubah mengikuti perkembangan dan kemajuan zaman. 
Dulu, kebanggaan seorang ksatria adalah kudanya. Kuda adalah hewan yang sangat gagah dan cantik. Dari seluruh penjuru dunia, kuda adalah kendaraan utama, bagi para pendekar, kerajaan, tentara dan pedagang--selain unta. Kuda pernah jadi tunggangan utama dan membanggakan bagi yang memilikinya. Kuda pernah jadi primadona pada masanya dan memegang peranan penting selama berabad-abad. Tidak ada yang mengalahkan kuda. Kecepatannya, kekuatannya, ketangguhannya menjadi andalan. Yang tidak terlalu banyak berubah mungkin harganya. Kuda bisa berharga sangat mahal, mungkin bisa lebih mahal dari mobil.
Waktu pun bergerak maju. Tunggangan baru pun ditemukan. Mula-mula sepeda, lalu sepeda motor, mobil, dan pesawat.
Sekarang kuda-kuda sudah digantikan motor. Motor-motor menjamur dimana-mana. Dari motor bebek, matik, motor jenis sport sampai moge. Setelah motor, mobil--walau masih kalah jumlah dibanding motor. Setelah mobil adalah pesawat. Nah, yang ini lebih jarang lagi yang punya.
Tunggangan, apapun jenisnya, bisa membawa kekuatan dan pengaruh berbeda bagi yang membawanya, bahkan yang hanya jadi penumpang. Entah kekuatan apa yang membuat si pengendara bisa berbangga hati dengan tunggangannya, seakan ingin menunjukkan "ini nih tunggangan gue".
Tunggangan secara langsung menaikan pamor yang membawanya--walau bukan dia yang punya misalnya. Tunggangan secara langsung menunjukkan status sosialnya. Tunggangan juga menunjukkan betapa dia mampu membawanya dengan sangat cepat--bukan sangat baik. 
Dunia dan waktu bergerak maju dan tunggangan baru akan kembali tercipta.
Plastik-plastik ini dari bungkus kaos atau paket yang lumayan tebal. Ditambah lagi ada klipnya. Plastik-plastik ini bisa kita manfaatkan lagi. Apalagi di musim hujan saat ini. Kadang cover bag saja bisa tembus basahnya sampai dalam. Nah, untuk mengantisipasi, bisa ditambah dengan plastik tadi. Untuk kertas-kertas dan benda yang rawan dengan air, masukan saja ke dalam plastik. Sangat melindungi jika hujan deras, termasuk handphone dan laptop. Ini baru namanya perlindungan maksimal.


Secara umum saya menyebutnya membuat passport, tapi sebenarnya ada dua cara: online dan walk in. Kalo online, kita isi 'formulirnya' lewat website imigrasi.

Sekitar awal bulan April, saya mencoba membuat passport secara online. Beberapakali coba buka linknya, gagal mulu, termasuk karena kelebihan muatan kali ya. Saya e-mail ke imigrasi nanyain kenapa susah banget. Gak lama dijawab. Cepet juga respon adminnya. Setelah dicoba lagi, akhirnya bisa juga. Isi semua data, terutama yang ada tandanya. Untuk jenis permohonan pilih paspor biasa. Jenis paspornya yang 48H, ya.

Setelah mendapat e-mail konfirmasi yang disertai file, unduh filenya, and go deh ke BNI. 

Karena belom ada uang, jadi ketunda deh. Baru pas Senennya saya ke BNI. Tellernya udah ngerti. Jadi tinggal langsung aja bilang mau bayar buat passport. Nanti file yang udah kita unduh disteplep bareng bukti pembayaran. Langkah selanjutnya adalah buka web imigrasi lagi. Periksa apa status pembayaran kita sudah berhasil.
Masukin nomor permohonan kamu, lalu klik "Lanjut". Di page selanjutnya, pilih tanggal kapan kamu bisa ke kantor imigrasi yang sebelum sudah kamu pilih. Kalo udah selesai, kita akan dapet e-mail lagi. Nah unduh filenya. Kayak gini nih.
Sebelum hari H, siapin: KK, KTP, dan akte lahir kamu. Kalo gak punya akte lahir, bisa pakai ijazah SD/SMP/SMA, pilih aja salah satu. Semuanya di fotokopi. Kalo belum sempet, di belakang kanim Depok ada koperasi. Bisa fotokopi di sana. Tapi kalo gak mau antrian makin belakang, mending persiapin dari rumah aja. Fotokopi KTP di kertas A4, yah. Sebelah kanan fotokopi depan KTP, sebelah kiri fotokopi belakangnya. Pokoknya semua yang difotokopi harus seukuran kertas, ya. Jangan lupa bawa juga yang aslinya. Perlu bawa map juga buat nyimpen.
Hari H pun tiba. Saya datang ke kantor imigrasi Depok di Grand Depok City. Kalo dari jalan arah angkot 05 Citayem, saya naek ojek, bayar sepuluh ribu. Wah, sampe sono antrian sudah mengular. Banyak... Tadinya yang baru dateng pada nulis nama. Gak tau deh itu absen, atau urutan antrian. Gak ngerti--and kayaknya juga gak dipake deh. Jem 7-an gerbang kanan dibuka. Antrian dipisah dari yang online sama yang walk in. Saya kan online, jadi antrian gak terlalu panjang. Oh, iya, perlu diketahui, antrian online dan walk in tiap harinya suka beda-beda mau nerima berapa. Misalnya, hari ini online 70 antrian, walk in 50 antrian, besokannya bisa sebaliknya. Sampailah antrian pada diriku, petugasnya ada dua di pintu(jadi pintu kanim ada dua, yang dibuka satu, yang satunya buat tempat periksa kelengkapan berkas), sesuai dengan jenis antrian. Tenang, petugasnya ramah-ramah kok. Parahnya saya malah motokopi dan bawa ijazah kuliah. Jadi sama bapak petugasnya dikasih solusi, pulang ambil ijazah sekolah(yang tadi saya sebutin) atau suruh orang rumah anterin. Ya, saya pilih opsi kedua. Tapi gak ngomong ke bapaknya. Saya cuma iya-iya aja. Eh, iya, saya juga dikasih map kuning gratis dari kanim. Nanti map ini gak dibawa pulang. Masuk ke dalem dulu buat ambil nomor antrian. Nomor saya B122. Wowow... Itu tandanya antrian online ke 22.
Saya segera beraksi minta bantuan orang rumah. Satu jam kemudian adik saya dateng. Dia ke kantin kanim buat makan, saya masuk lagi ke dalam. Oh, iya satpam-satpamnya ada yang ramah ada yang sangar--mukanya. Tapi baik-baik kok. Kan demi kenyamanan bersama. Biar tertib.
Oh, iya, antrian ada tiga jenis, A untuk walk in, B untuk online, dan C untuk antrian khusus seperti manula dan ibu hamil. Tadi sambil ngantri berkas di luar saya ngobrol sama ibu-ibu yang bawa anaknya masih setahun. Mau bikin paspor juga. Kemarin udah dateng, tapi udah abis antriannya. Di dalem, ketemu sama nenek yang lagi perpanjang paspor mau umroh. Beliau sih lagi nunggu buat bayar ke bank, kayak surat yang di atas tadi. Ada bapak-bapak juga yang bawa anaknya. Yang kata nenek tadi telaten--bapak ini nyuapin anaknya. Di luar, sambil nunggu ade saya, saya ngobrol sama ibu-ibu yang gak dapet antrian walk in karena ditinggal buat motokopi. Beliau juga lagi nunggu anaknya ngambilin akte lahir. Kemungkinan ibu ini besok ngantri dari awal lagi di kanim. Mana pas dapet telepon ngomongnya pake bahasa Cina. Aish... serasa udah diluar negeri aja. Hehehe...
Akhirnya nomor saya dipanggil juga. Masuk ke dalam yang ada di sisi kanan ruang tunggu yang penuh, saya celingak-celinguk harus ke meja mana. Oh, loket satu toh dan itu tepat di depan pintu. Well, ibunya pun minta fotokopiannya. Saya kasih lah. Terus beliau melengkapi data yang kurang pas saya ngisi online. Ditanya-tanya untuk apa bikin paspor. Saya bilang aja kuliah. Dimana? Di Jepang, Bu. Aduh... ibu ini ngira saya masih SMA. Jelas-jelas saya ngasih ijazah tahun 2010 ke bawah. Ibunya kayaknya gak ngeh. Abis itu saya disuruh nunggu. Ada tempat duduk, tapi gak banyak.
Gak lama, nama saya dipanggil. Nah, sekarang saatnya tap sidik jari semua jari(udah kayak tes kecerdasan yang pake sidik jari itu tuh). Abis itu difoto, sambil ibunya nanya-nanya buat apa bikin paspor. Kuliah, Bu. S1? S2. Sama kayak ibu yang pertama, ibu ini ngira saya anak SMA. Hah... Ibunya nanya saya kuliah dimana, jurusan apa, nanti di Jepang ambil apa. Pas difoto, sempet masalah karena alisnya ketutupan kerudung. Jadi, garis alis harus keliatan gitu. Saya tarik-tarik aja kerudungnya. Pas tap sidik jari juga, jari manis kiri gak ke detect. Tapi gak masalah. Abis itu nunggu proses si kompi. Sambil nunggu, saya nanya-nanya ke ibunya: setiap hari Bu kayak gini? Ibunya bilang "iya". Wah, hebat, Bu. Sedikit ngobrol-ngobrol. Gak lama proses selesai. Ibunya bilang ada berapa orang gitu yang mukanya mirip saya. Wah, iya, Bu? Bukan Ibu yang bilang, komputer ini. Hehe... jadi muka saya pasaran, Bu? Ibunya terus ngasih slip buat ambil paspor yang akan jadi tiga hari kemudian. di situ jadwal saya hari Senen. Tapi tenang, gak mesti ngambil pas hari H. Kalo gak sempet bisa ganti hari. Tapi jangan diambil sebulan kemudian yah. Kebangetan namanya.
And... selesai lah sudah proses panjang hari itu. Jam 11-an saya pun melanjutkan perjalanan ke agenda selanjutnya. Balik, yah naek ojek lagi sampe arah angkot Citayem sono. Hasil ngobrol sama OB kanim, ada angkot D10 apa yah, yang langsung ke terminal Depok. Bagi yang mau alternatif lain selain ojek, bisa ngangkot, ntar turun di perempatan di dalem GDC. Bilang aja ke supir angkotnya kantor DPRD Depok, atau kebakaran Depok atau kanim Depok. Dari situ jalan deh. Gak jauh.
Langkah selanjutnya tinggal nunggu buku paspor. See ya...
Beliau hanya tukang kebun. Hanya tukang suruh-suruh. Umurnya sudah lebih dari lima puluh tahun. Beliau selalu terlihat bersemangat. Tapi siapa sangka kalau beliau sudah haji sembilan belas tahun lalu saat kurs rupiah terhadap dollar tidak sampai tiga ribu rupiah. Pantas saja beliau di tempat kerja dipanggil "haji". Hidupnya sederhana dan tekun bekerja. Bulan depan istri dan mertuanya akan pergi umroh. Sungguh membuat saya iri.
Hidup beliau cukup, sesuai dengan kebutuhan dan gaya hidupnya yang sederhana. Saat di rumah, Pak Hamzah tidak bisa diam. Melakukan apa saja. Apa itu beberes rumah, betulin genteng bocor, nanem singkong. Kalau masih bisa dikerjakan sendiri, Pak Hamzah akan mengerjakannya sendiri. Kalau emang gak ahli, beliau pasti panggil tukang.
Baginya anti untuk meminta-minta. Wibawa, itu yang dijaganya. Lebih baik bekerja dari pada meminta. Pantang baginya menuntut.
Seperti punakawan dalam dunia perwayangan, beliau pun mendampingi satu keluarga besar dari masih berumur delapan belas tahun. Dari keluarga yang beliau ikuti tidak punya apa-apa, sampai sukses punya segalanya. Tapi beliau tidak meminta dan menuntut apapun. Pak Hamzah sudah seperti keluarga sendiri, sudah seperti orang tua bagi keluarga tadi. Beliau jarang datang ke rumah keluarga tadi, kecuali dipanggil. Beliau tidak pernah asal masuk. Lebih memilih menunggu di pos satpam. Padahal beliau bisa saja langsung masuk. Tapi beliau menunggu disuruh masuk.
Beliau selalu tertawa dan tersenyum lebar. Hidupnya saat ini sudah sangat cukup. Beliau sangat bersyukur. Walau hanya keluarga biasa, beliau masih bisa mengajak keluarganya jalan-jalan. Sekalipun hanya duduk-duduk di sawah, makan bersama di sawah.
Mendengar kisah Pak Hamzah pagi ini membuat saya semakin ciut, tidak tahu apa-apa, begitu jahat, dan tidak pandai bersyukur. Apa yang saya lihat berbeda dengan Pak Hamzah. Tapi saya tahu, hidup sederhana lebih membahagiakan.

gara-gara printer dipake tiada henti, maka ngadatlah si printer. ada bunyi kayak patah di bagian dalamnya. padahal banyak yang mau diprint. segala surat-surat, proposal, dan lain-lain yang berhubungan dengan kebutuhan publikasi acara kampus. tapi apa mau dikata. Akhirnya ketikan ketunda. dan gak disangka abau siang-siang gotong printer masjid. kata abau minjem. lagian gak dipake. ngeprint pun berlanjut. tapi gak banyak karena tintanya udah mau abis dan printer yang ngadat pun dibawa ke tukang servis. makasih abau.

Biasanya saat jalan-jalan yang perlu nginep, kita bawa perlengkapan mandi. Mulai dari sabun mandi, odol, sampai sampo. Padahal kita bisa lebih praktis dengan cara patungan sama temen. Kalo kita pergi berkelompok, bisa dengan cara membagi tugas siapa yang membawa odol, sabun atau sampo. Praktis, kan?
Sebagai anak yang besar di asrama, saya dan teman-teman jadi lebih praktis saat bepergian jauh. Mungkin karena kami sudah terbiasa saat kemping, jadi saat bepergian tau mana yang harus dibawa dan dibutuhkan. Kalo ada yang bisa dipakai bersama, maka lebih baik dibagi tugas. Karena kami berasal dari daerah berbeda di Indonesia, kami sudah terbiasa dengan membawa sedikit barang saat berkunjung ke rumah teman di Jawa misalnya atau Sumatra.
Setiap orang punya perannya masing-masing. Apakah itu guru, para pekerja, dokter, direktur, ibu rumah tangga dan masih banyak lagi. Dengan memaksimalkan satu peran saja dengan baik, akan ada sinergi yang luar biasa. Guru yang mengajar di kelas memberikan pelajaran, lalu siswanya menjadi seorang yang berhasil, misalnya menjadi seorang dokter. Si siswa ini memaksimalkan perannya sebagai dokter. Lalu pasiennya menjadi sehat. Pasiennya kembali bisa berdagang. Dagangannya meningkatkan taraf hidup keluarganya. Dan seterusnya. See? Betapa kita saling terhubung tanpa harus saling menyadari. Sinergi ini tidak kita sadari.
Gak harus menguasai semua bidang. Selalu ada mereka-mereka yang ahli di luar bidang kita. Yang harus kita lakukan adalah memaksimalkan peran kita, sebagai anak, sebagai karyawan, sebagai mahasiswa. Dengan keselarasan ini akan ada begitu banyak hal buruk di dunia ini yang hilang dan berkurang.
Mungkin itu alasan kenapa kita hanya cocok pada satu hal. Namun bukan berarti kita seakan acuh dengan hal di luar bidang kita. Jangan karena kita hanya siswa atau mahasiswa, kita tidak ikut berperan dalam hal kebersihan dan kesehatan. Atau mungkin yang lebih besar masalah pendidikan. Kita juga bisa ikut berperan. Tapi memang partisipasi kita tidak bisa besar. Kita tidak mungkin kan mengambil peran dokter tanpa ada ilmunya. Tapi kita bisa membantu dengan memberitahu teman atau kerabat kita mana yang sehat dan tidak.
Jadi, maksimalkan apa yang paling kamu kuasai dan berperanlah lebih besar lagi untuk kehidupan yang lebih baik... :)
Belum ada bukuku yang terbit. Tapi saya baru mencoba tidak sampai enam kali. Waktu masih kuliah, saya pede nyoba ngirim ke Gramedia. Tapi tidak ada kabar sampai sekarang, termasuk naskah yang tidak kembali. Kedua ke Terrant Books. Ini, sih, salah saya. Saya pake alamat redaksi yang lama atau alamat laen, tapi bukan redaksi Terrant, kayak kantor bagian pemasaran atau apa gitu. Nanya-nanya lewat e-mail, belum ada kelanjutannya. Jadi gagal plus naskah gak balik. Terus nyoba ke Gagas Media. Ini lebih baik. Gak sampe tiga bulan udah ada kabar dan naskahnya balik. Saya nyoba lagi ke Gagas Media dengan cerita yang berbeda. Gagal lagi--setelah nungu hampir satu tahun, baru dibalikin naskahnya. Yang termasuk cepet kabarnya yang saya kirim via e-mail: Haru dan Stiletto. Tapi gagal lagi. Saya juga coba kirim e-mail ke Kaifa, tapi belum ada kabar sampe sekarang. Sekarang sih lebih milih istirahat dulu dari kirim-kirim naskah dan memperbaiki tulisan dan cerita,. Tapi saya akan tetap mencoba lagi. Masih ada lima target penerbit yang akan saya kirimin naskah. Doain, yah... :)

Menulis seperti memindahkan satu barang ke tempat penyimpanan yang baru. Semua yang bertumpuk di kepala bisa kembali tertata dengan baik setelah ditulis.
Menulis seperti memindahkan beban yang kita pikul ke tempat lain. Membuat kita bisa beristirahat dan bernapas dengan baik.
Menulis seperti tempat menampung tangki yang sudah penuh dengan air. Dengan begitu, air yang terbuang tidak akan mubazir dan sia-sia.
Menulis seperti obat nyeri. Meredakan nyeri dan menenangkan diri.
Menulis adalah wajib bagi saya. Tidak menulis sama dengan menyia-nyiakan setetes air yang bisa menumbuhkan kecambah.
Menulis seperti mandi setiap hari, seperti matahari yang terbit dan menyinari bumi setiap hari.
Tidak menulis sama seperti tidak minum saat haus, sama seperti tidak tidur saat mengantuk. Seperti sholat tanpa zikir dan doa.
Menulis adalah kewajiban.
Menulis adalah rekaman paling canggih. Kertas dan pulpn lebih canggih dibanding benda-benda digital dan elektronik. Menulis lebih dari segalanya.
Menulis adalah bagian dari hidup.
Menulis adalah bagian dari sejarah.
Menulis adalah bagian dari kita.
KEEP WRITING!!!😊👌

Apa di sekolah kalian info-info kuliah begitu mudah dan banyak? Maka, manfaatkan lah sebaik mungkin. Ingat kawan, malu bertanya sesat di jalan. Tidak ada yang tidak tersesat saat tidak bertanya. Kebanyakan harus berjalan berliku-liku baru menemukan tempatnya. Yang udah nanya aja masih tersesat dan berliku-liku, apalagi yang gak nanya.
Bagi siapapun yang mencintai buku, pasti akan sangat menjaga bukunya. Bagi yang mencintai buku, buku punya arti sendiri yang tak tergantikan. Buku lebih dari sekadar bacaan. Buku bisa menjadi teman. Buku bisa menjadi hiburan. Bagi saya, buku adalah obat--sama halnya seperti Al-Qur'an.
Sejak kecil saya sangat suka dengan buku. Begitu kurang jika sekolah tidak menyediakan buku paket atau buku pendamping--dan saya pernah mengalaminya saat sekolah di daerah pedalaman. Sejak kecil saya membaca apa saja yang bisa dibaca. Apa itu majalah lama orang tua saya atau buku yang bahkan saya tidak mengerti. Kalau bosan, saya suka mengoprek-oprek buku-buku di dalam kardus, kali-kali ada yang menarik. Kadang saya hanya melihat gambar-gambar dari buku-buku yang tidak saya tahu artinya. Saat saya SMP, uang jajan saya pasti akan saya belikan buku, dibanding beli jajanan atau makan dimana misalnya. Kalau buku jenis novel, cukup semalaman bisa rampung, kecuali sangat membutuhkan pemikiran lebih dalam. 
Buku, bagi saya harus hard copy. Buku yang paling enak dibaca bagi saya adalah hard copy. Itu baru namanya buku. Senang rasanya melihat banyak orang yang membeli buku di toko buku atau yang membaca di perpustakaan. Senang rasanya melihat banyak orang yang punya koleksi buku. Membuat saya yakin masih banyak orang yang mencintai buku. Masih banyak yang mencari buku. Masih banyak yang suka membaca. So, di hari buku ini, hargailah bukumu dan penulisnya; rawatlah bukumu; jagalah bukumu. Jika mau berumur panjang dan lebih bermanfaat, berikanlah buku pada orang lain.
Tullius Cicero mengatakan, "Ruangan tanpa sejumlah buku ibarat tubuh tanpa jiwa". Setuju!!! Tidak ada makanan paling nikmat untuk jiwa, kecuali buku. Happy Book's Day!
Kalo kata Brain Games, semakin banyak pilihan, semakin nyesel. Iya gak? Yah, kayak lagi pilih-pilih mau ambil jurusan. Kayaknya pengen masuk semuanya ya. Pengen nyoba semuanya. Tapi pas gak dapet... langsung nyesel. Pas tau temen bisa begitu gampang masuk dengan pilihan jurusan yang kayaknya biasa aja, jadi mikir, kenapa gak pilih itu aja... Akhirnya nyesel lagi. Jadi, harus gimana? Yah, harus tentukan pilihan. Usahain gak usah banyak-banyak. sedikit tapi yakin. Kalo kasusnya kayak tadi, yah... cuma bisa gigit bibir pas gak dapet. Aish... hah... emang aneh manusia, manusia, manusia....
Orang mudah lupa kebaikan orang lain. Saat teman kita melakukan satu kesalahan yang begitu buruk di mata kita, kita lantas marah dan tidak bisa dengan mudah memaafkannya. Butuh waktu untuk sekedar memaafkan. Kita seakan lupa segala kebaikannya. Sebaliknya, kita tidak mudah lupa kebaikan diri sendiri dan tidak ingat kesalahan apa yang sudah kita lakukan. Hanya sedikit yang tahu apa kesalahannya dan mau memperbaiki diri. Hanya sedikit yang melupakan kebaikan diri sendiri. Seorang yang bijak pernah mengatakan: saat saudaramu melakukan satu kesalahan, ingatlah beribu-ribu kebaikan yang sudah dilakukannya. Sesederhana itu. :)
Seberapa yakin diri kita kalau kita akan mendapatkan apa yang kita mau? Apa kita akan selalu yakin dengan apa yang kita tahu?
Tidak semua orang punya keyakinan yang kuat. Hanya sedikit yang tahu kalau apa yang diinginkannya akan tercapai. Ada lebih banyak orang yang ragu daripada yakin. Misalnya, saat kamu mau beli baju kamu yakin bisa beli karena ada jaminan. Apa jaminannya? Uang. Kamu punya cukup uang. Atau kamu yakin bisa dapat nilai bagus karena ada jaminannya. Apa? Kamu sudah belajar.
Kebanyakan kita yakin karena ada jaminannya. Apapun. Kamu bisa mengambil permisalan sendiri. Kayak orang bank. Mereka ngasih pinjaman karena yakin nasabahnya akan mengembalikan pinjaman. Apa jaminannya? Bisa karena usahanya yang sudah berkembang. Bisa karena nasabahnya memberikan jaminan. Bisa dipahami kan kenapa jaminan bisa menguatkan keyakinan?
Tapi bagaimana kalau tidak ada jaminan? Jaminan tergantung bagaimana diri kalian melihatnya. Kalau menurut kalian jaminan sudah cukup dengan doa dan usaha, maka keyakinan kalian bisa mantap.
Kadang keyakinan bisa tidak melihat jaminan. Cukup dengan keyakinan saja. Keyakinan tanpa jaminan. Karena kalian siap menerima baik atau buruk hasilnya. Tidak semua keyakinan ada jaminannya. Apa kalian yakin bisa masuk kampus yang kalian mau? Apa jaminannya? Belum tentu ada, kan? Tapi karena sudah percaya diri dan yakin, maka tanpa jaminan pun kalian tidak akan ragu.

Bukan hanya mata kita yang mudah terbiasa dengan apa yang dilihat, tapi juga telinga kita, dsb. Banyak yang begitu terbiasa dengan apa yang kita dengar, termasuk kata-kata kasar yang secara tidak sengaja mengubah cara kita berbicara. Karena kata-kata kasar sudah terbiasa di telinga kita, mengucapkannya pun menjadi hal yang biasa. Kita mungkin tidak terbiasa dengan bahasa di luar bahasa ibu kita, di luar bahasa yang biasa kita ucapkan dan dengar. Tapi, bisa dalam hitungan bulan, kita akan mulai terbiasa dan beradaptasi. Iya, kan? 
Selain telinga, ada tangan kita, kaki kita, mulut kita, dan masih banyak lagi yang begitu mudah menjadi terbiasa. Ada yang mengatakan: sesuatu yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi kebiasaan; kebiasaan akan menjadi karakter/prilaku; prilaku akan menjadi adat/budaya.
Aku menyebutnya orang asing. Dia orang asing bagiku. Sampai kapanpun. Tapi justru orang asing ini yang harus kuhadapi. Aku benci orang baru. Aku benci harus berkenalan dengan orang baru. Aku benci beradaptasi. Tapi justru dengannya aku harus kenal. Hanya dalam waktu satu tahun saling mengenal kami menikah. Banyak yang berbeda dari kami berdua, termasuk beda kewarganegaraan. Banyak hal yang tidak bisa di samakan. Tapi justru karena itu kami dekat.
Kami adalah dua orang asing. Sampai kapanpun dia tidak akan tahu bagaimana masa kecilku. Begitu pun sebaliknya. Dia tidak tahu bagaimana keluargaku, saudaraku, keluarga besarku, kampung halamanku, teman-temanku, dan semua orang yang kukenal sebelum kami bertemu. Sampai kapanpun dia tidak akan tahu. Dia tidak akan tahu bagaimana dua puluh enam tahun hidupku sebelum bertemu dengannya. Begitu pun sebaliknya.
Kami masih asing. Tapi justru dengannya lah masa hidupku akan dihabiskan. Karena kehidupan kami sudah berubah sejak kami saling mengenal, sejak kami memutuskan hidup bersama, sejak kami melewati hari pernikahan. Semuanya berubah dan benarlah apa kata orang tua dengan "kehidupan yang baru". Yang ada sekarang bukan pembicaraan tentang kemarin, tapi besok. Bagaimana kami akan membesarkan anak-anak kami. Bagaimana kami ke depan menghadapi lebih banyak hal tentang hidup.
Kami asing. Orang asing ini yang justru menemaniku sampai lebih dari setengah abad. Dia yang bukan kukenal sejak lahir, justru yang akan menemani hari-hariku saat kami kembali hanya berdua. Saat anak-anak kami sudah besar, punya kehidupan sendiri, saat cucu-cucu mulai bisa berbicara. Hanya dia yang akan menemaniku. Kami akan saling menjaga dan melindungi di saat tua. Sampai salah satu dari kami meninggalkan dunia ini. Aku tidak tahu apa di alam lain kami akan bertemu. Tapi kami berdoa, semoga kami dikumpulkan kembali, bersama anak-anak kami, cucu-cucu kami, orang tua kami, saudara-saudara kami, dan teman-teman kami.
Dia orang asing bagiku.
Tanpa kita sadari, kita punya baju yang lebih dari cukup. Tapi selalu ada pemikiran bahwa baju yang kita miliki sedikit. Ada saat bingung mau pakai baju yang mana. Ada pemikiran bosan dengan baju tertentu. Saya pun termasuk korbannya. Selalu berpikir kalo tidak punya baju. Tapi begitu membongkar lemari, selalu ada baju yang jarang dipakai. Di sinilah kemampuan kita menyiasati baju lama dan baru dibutuhkan. Kalo kata orang sih 'mix and match'. Jurus jitu ini sangat ampuh untuk membuat penampilan terlihat berbeda--kecuali udah gak muat, ya...
Saat membongkar lemari, rasa syukur pun muncul. Ternyata saya harus lebih bersyukur karena punya baju yang banyak. Seharusnya kita tidak langsung beranggapan punya baju sedikit. Coba bongkar lemari dan temukan berapa banyak baju yang 'nyelip' tak terlihat. Kalau memang tidak mau dipakai lagi, kasih lah ke ade, ke sodara, ke temen, ke orang lain. Ada banyak manfaat dari berbagi ini. Manfaat yang kadang tidak kita duga dan sadari.
See ya....
Aku memanggilnya beliau guru. Beliau adalah guru kelas saya di kelas 3 SD. Tapi secara teknis beliau adalah kakek guru karena pernah mengajar kedua orang tua saya. Ada banyak pesan dan nasihat dari beliau yang begitu membekas di diri saya, salah satunya adalah penggunaan kertas tulis atau buku tulis. Cukup dengan satu kali saya mendengarnya, saya langsung mengubah pola mencatat saya yang biasanya akan berganti lembar walau masih sisa beberapa baris lagi. Pesan beliau singkat dan sederhana: "kalo nulis sampe baris terakhir". Maksudnya, kalau kita mencatat atau menulis di buku tulis, tulislah sampai baris terakhir. Sehingga tidak ada kertas yang bersisa dan semua baris di buku penuh dengan tulisan. Dengan begitu kita lebih bisa menghemat buku, kan? Sampai-sampai saya jarang sekali membeli buku tulis saking selalu memakai full satu buku. Tidak semua buku halamannya habis terpakai kan dalam satu semester? Dan tidak semua pelajaran menghabiskan satu buku dalam satu tahun kan? So, buku-buku lama saya gunakan kembali. Lembar-lembar kertas yang masih utuh saya pergunakan lagi. Kalau terlalu tipis, saya satukan dengan lembar-lembar kertas dari buku lain. Saya pun bisa mendapatkan satu buku 'baru'. Karena adik-adik saya biasa selalu membeli buku tulis baru setiap kenaikan kelas, maka buku tulis yang sudah tidak dipakai, saya robek lembar yang masih kosong dan dijadikan satu bundel buku tulis. Bagaimana caranya? Cukup disteples. Buku yang tadinya tipis bisa jadi tebal lagi. Bisa menghemat pengeluaran untuk beli yang lain. Seragam mungkin, atau alat tulis seperti pulpel dan pensil.
Saya pernah membaca artikel tentang “Gambatte apakah bisa diterapkan di Indonesia?” Saat saya membaca artikel dengan judul tadi, saya pun menyadari betapa perbedaan keadaan sosial dan kebiasaan suatu negara terlihat. Bencana tsunami yang melanda Jepang beberapa tahun silam langsung mendapatkan bantuan dari pelosok negeri dan dunia. Bagi sesama rakyat Jepang, mereka saling mengucapkan “gambatte” atau semangat. Mereka menyemangati korban tsunami.
Bagi orang Jepang, kata “gambatte” punya arti yang besar dan begitu berpengaruh. Namun begitu saya melihat orang Indonesia, saya tidak bisa asal menyemangati orang. Mungkin saya hanya bisa melakukannya dengan sesame penggemar anime atau dengan teman sebaya. Tapi kalau mengatakannya pada orang tua, sepertinya tidak mungkin.
Di negara kita, ada dua kata yang begitu punya arti, hampir sama seperti “gambatte”. Saat ada musibah, atau teman atau saudara kita kena musibah, biasanya kita mengatakan “sabar”. Bahkan kata “syukur” juga kadang diucapkan karena masih bersyukur selamat atau musibah tidak terlalu parah seperti yang lain—tanpa bermaksud senang dengan mereka yang terkena musibah lebih hebat. Kata “sabar”, “syukur”, “Alhamdulillah”, atau istigfar, bisa begitu menguatkan. Sepertinya akan aneh kalau kita mengatakan “semangat” pada mereka yang kena musibah. Kata “semangat” lebih cocok untuk mereka yang menghadapi ujian atau hal-hal yang berarti pencapaian. Jadi, kata yang Indonesia banget, ya, “sabar” dan “syukur”. “Sabar, ya…” Kata ini saja sudah cukup. Tanpa perlu membantu perbuatan dan materi. Iya gak?

Karena membaca koran Republika yang mengambil tema tentang gaya hidup hijau, saya pun membuat postingannya ini. Dari artikel di koran tadi, saya pun berpikir lagi tentang maksud dari 'Go Green'. Kalo dipikir-pikir memang masih jauh gaya hidup saya dari 'hijau'. Tapi patut dihargai usaha sekecil apapun untuk kembali hidup berdampingan dengan alam dan sekitar. Kita seakan lupa siapa alam. Yang lebih banyak menyita pikiran dan gaya hidup kita adalah bagaimana kita ingin hidup. Bukan bagaimana kita harus hidup. Karena itu, kita lupa bahwa kita hidup bukan hanya dengan manusia--yang notabene makhluk hidup yang bisa bersosial dan berpikir--tapi juga dengan makhluk hidup lain: hewan dan tumbuhan. Kita lupa dengan hak alam pada kita. Kita padahal sudah mendapatkan 'kewajiban' alam untuk hidup kita. Tapi sungguh sangat sedikit yang paham dan mau bergerak untuk memberikan haknya pada makhluk hidup lain. Kita sudah penuh dengan keinginan untuk memenuhi kebutuhan kita yang belum tentu itu yang kita butuhkan. Kita hanya berusaha memenuhi apa yang ingin dipuaskan.
Hidup go green? Bukan go green juga sih, hanya mengurangi dampak buruk lingkungan. Dan itu sudah lebih baik daripada sikap acuh yang justru menular pada yang lain. Berilah sedikit ruang di daftar keinginan kita untuk hidup lebih baik dalam hal lingkungan. Tidak melulu sampah--walau masalah yang termasuk utama adalah sampah dan pembuangan lainnya.
Hidup praktis dan cepat tidak selalu membuang waktu dan uang. Malah hidup lebih sehat dan bijak lebih hemat. Hanya kita saja yang belum pernah merasakannya. Lagi, tidak semua orang punya keinginan kuat untuk lingkungan. Selalu ada banyak alasan untuk diutarakan. Sungguh sangat disayangkan kalau kita hanya ingin lingkungan bersih dan sehat tanpa mau berkontribusi dan bersinergi bersama. Ini bukan urusan orang lain. Ini tentang kita. Ini tentang rumah kita. Ini tentang sekitar kita. Tidak peduli apakah kamu termasuk orang yang jarang bergaul dengan tetangga atau tidak kenal kakak kelas, bahkan teman sekelas, berusahalah untuk perhatian dengan alam.

Terkadang... bukan diri kita, saudara atau keluarga yang menilai diri kita hebat, tapi orang lain. Terkadang bukan saudara atau keluarga yang membantu kita, tapi orang lain.
Terkadang bukan saudara atau keluarga yang mengerti kita, tapi orang lain.
Terkadang bukan saudara atau keluarga yang dekat dengan kita, tapi orang lain.
Keluarga atau saudara di sini adalah keluarga inti kita. Ayah, ibu, adik-kakak. Orang lain di sini bisa om, tante, sepupu, teman, kolega, tetangga. Kenapa terkadang bukan orang tua atau saudara yang membuat kita nyaman, tapi orang lain.
Terkadang itulah yang terjadi. Sesuatu yang seharusnya terjadi sebaliknya. Tapi malah sebaliknya yang terjadi. Terkadang di depan orang lain kita baru bisa mengungkapkan sesuatu atau apa yang kita pikirkan, simpan. Kenyataannya orang lainlah yang ada di depan kita. Mengapa mereka terkadang terlalu men-judge anaknya sebelum tau apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa terkadang anaknya selalu buruk di mata mereka? Mengapa terkadang saudara lebih sayang atau mempedulikan teman daripada saudaranya? Bukannya orang tua berpesan: “Baek sama saudara. Entar kalo kamu susah siapa yang nolong. Sodara, kan? Ade, kan? Kakak, kan?" Tapi kalo menyataannya seperti itu, apa yang bisa mereka lakukan? Terkadang itulah yang terjadi di sekitar kita. Sadar atau tidak. Terkadang...
Mata kita kadang terbiasa melihat sesuatu. Misalnya, saat kita menonton TV 24” punya tetangga, kita akan merasa kalau TV 14” kita terlihat lebih kecil begitu kita menonton di rumah atau saat kita terbiasa melihat kasur yang kemarin spreinya berwarna biru, berganti dengan warna kuning. Akan sedikit berbeda bukan? Itulah mata. Hal yang kadang tidak kita sadari.  Lalu bagaimana kalau mata kita terbiasa melihat kekerasan di sekitar kita atau pengemis di sekitar kita atau pengamen? Akankah kita terbiasa untuk mengacuhkannya atau mengasihaninya, melihatnya miris atau bersimpati pada pengamen? Atau saat mata kita melihat yang tidak bersih? Melihat sampah, melihat ketidakrapian. Manakah yang biasa menurut mata kita?

(Malam saat lampu kamar mati, gua maksa nulis)
This's maybe not just my idea. Coba ada restoran yang ngasih denda ke pengunjung kalo gak abis makanannya, bayar sesuai timbangan makanan yang sisa. Saya pernah dengar ada restoran atau rumah makan jenis ini, tapi lupa dimana. Bayangin aja, di luar apakah makanan itu sempat disajikan ke tamu atau masakan yang gagal, makanan yang tidak habis di piring pelanggan pasti kalo diakumulasikan bukan jumlah yang sedikit. Padahal kita tahu ada banyak orang yang bahkan tidak bisa mendapatkan makanan bergizi. Di luar apakah ada tempat makan kayak gitu? Makan tidak habis, berarti bayar 'dobel'. Makanya abisin makanan. Akan lebih baik sebelum memesan atau mencoba menyendok makanan ke atas piring, porsinya tidak banyak. Saat kita ternyata tidak menyukai makanan yang kita pesan, atau tidak berselera karena alasan lain, tidak banyak makanan yang tersisa.
Gak mungkin kan makanan sisa dikasih ke orang lain. Kurang etis. So, mulailah berpikir sebelum menyajikan makanan di atas piring. Mencoba masakan baru adalah hal yang menarik, tapi akan lebih baik lagi kalau kita tidak menyisakan makanan.

16/2/2013
Masih ingat kertas ini? Pernah lihat? Pernah menggunakannya?
Sekarang kayaknya udah gak umum ya untuk dipakai. Orang-orang udah pake kertas jenis itu tuh yang kalo ditulis di atasnya bisa tembus sampai dua atau empat lembar. Kertas karbon udah kayak jejak sejarah.
Ada gak ya lembaga yang menghimpun semua info tentang kuliah. Jadi buat anak kelas tiga SMA bisa nanya-nanya tentang kampus-kampus dan jurusannya. Bisa tau kampus apa aja yang ada di Indonesia dengan segala akreditasinya. Bisa tau jurusan apa aja yang ada di Indonesia. Bisa konsultasi untuk kuliah dimana. Bisa konsultasi kira-kira potensi kita dimana. Bisa tanya-tanya deh pokoknya. Lembaga ini bukan tempat bimbel. Kayak pusat informasi. Hanya itu. Kalo pun bukan nanya-nanya tentang kuliah dimana, tapi bisa diajak ngobrol bagusnya gimana dengan kemampuan dan situasi kita. Kayak bimbingan juga. Ada gak yah?
Membaca sejarah Islam sungguh-sungguh membuatku berada dalam dua keadaan. Suka dan duka. Bagaimana tidak? Aku senang karena ternyata Muslim begitu hebat, begitu berpengaruh. Begitu dikagumi. Di sisi lain, aku berduka karena itu terjadi berabad-abad yang lalu. Yang sampai saat ini belum banyak yang berubah. Saat membaca sejarah Islam pada suatu majalah yang sebenarnya sudah edisi lama, aku hampir lupa apakah ada tusuk di rambutku atau tidak. Aku begitu kagum dengan cara mereka menuntut ilmu terus-menerus, pantang menyerah dan terus diulang-ulang. Bandingkan dengan generasi sekarang yang sudah merasa dirinya pintar tanpa perlu membaca buku dan xxx sejak kecil saya dididik dengan cara belajar: pelajari pelajaran hari ini dan untuk besok. Tidak ada kata penundaaan untuk mengerjakan tugas. Tanpa diminta dan itu menjadi kebiasaan yang baik.


27/3/12
Lagi gosok, tapi otak malah mikir kampus.
Karena melihat ISTN yang gersang tak terawat abis, aku pengen ngomong ke dosennya: “Apa gak ada tukang kebun?” atau kami aja yang ngerawat--padahal ada tuh tukang rumput dll. Jadi inget "Tears of Sheep" yang pas liburan musim panas malah nyabut rumput sekolah—kegiatan pengisi liburan yang sangat bermanfaat -___-. Padahal ISTN punya peluang besar jadi green kampus. 
Lalu aku ada satu ide terlintas di kepala: pengen punya yayasan atau apalah yang berkecimpung di bidang itu. Membantu sekolah, rumah atau apa aja untuk menghijaukan itu tempat. Eh, namanya jadi yayasan hijau. Jadi, yayasan ini membantu, misalnya kampus yang ada lahan kosong biar tambah asri. Tentu saya tidak sendiri. Adalah(pasti) kerja sama dengan pihak-pihak tertentu. Kalo ada bangunan yang mau dibangun, kita berusaha gimana bangunan itu ke depan berefek pada lingkungan di sekitarnya. For future. Ada ahli-ahli tertentu yang berhubungan dengan itu yang saya ajak. Teknik lingkungan, ahli lingkungan, perencanaan wilayah kota, dan lain-lain. Saya tidak mau bilang kalo masih ada hutan di Indonesia, masih ada paru-paru dunia. Karena kalo gitu kita akan mengandalkan hutan tadi. Berleha-leha tidak bergerak cepat. “Ah masih ada ini”. Tidak! Udah banyak yang rusak. Ini bukan masalah sekarang, tapi masa depan. Buat anak-cucu. Mereka belum tentu merasakan udara yang bersih, musim yang teratur. Belum tentu! Tidak ada lagi rasa ego atau gengsi. Itu cuma akan menghambat segalanya. Pernah dengar “one man, one tree”? Itu kalau sungguh-sungguh, betapa banyaknya pohon yang akan ditanam, yang tumbuh. Kalau bisa, yayasan hijau juga akan membantu rumah-rumah yang punya taman atau lahan yang kosong untuk menjadikannya sesuatu yang indah. Ini memang tidak mudah. Saya akui. Ini memang baru pikiran. Tapi kalau kita bersama-sama, itu akan mudah. Itulah gunanya tim, kelompok. Saya tidak bisa membayangkan kalau apa yang terjadi di "The Day After Tomorrow" atau "2012" terjadi. Sungguh kita belum siap.

Wednesday, 4/8/2010
dr jem 7-an – 10-an
Saya tidak pernah tau kalau keputusan manggil orang tua umi-abah karena pilihan saya. Kakak saya cerita, katanya waktu kecil--yang kayaknya saya belum inget--orang tua saya memberikan pilihan pada kami--dua anak pertamanya--mau manggil "mama-papa" atau "umi-abah". Kakak saya pilih "mama-papa" dan saya pilihan terakhir. Karena saya adik, kakak saya pun(sepertinya) mengalah. Dan jadilah sampai sekarang paten dengan panggilan "umi-abah".
Saat saya mau membuat ijazah SD, guru kelas saya meminta kami cara menulis nama--biar pas ijazah jadi tidak ada kesalahan(lagi itu masih tulis tangan, deh. Kalo sekarang masih tulis tangan gak?). Saya pun di rumah nanya nama saya udah bener atau belom penulisannya. Dan Ayah saya memberikan tiga pilihan di atas kertas yang sudah beliau tulis.
1. Alimunnisa
2. Alimunissa
3. Alimunisa
(kurang lebih begitu)
Saya pun memilih nomor dua dan sampai saat ini semua ijazah dan KTP dan semua yang berhubungan dengan nama saya ditulis seperti nomor dua. Uniknya, tanpa saya tahu, tulisan nama yang saya pilih sama dengan tulisan di akte lahir. Hehe... bisa gitu....
Untuk pertama kalinya saya memposting tentang resep. Saya bukan ahli makanan. Bukan banget. Lebih ahli kalo untuk urusan makan di saat laper banget. Cuma mau share, kali aja menu praktis ini lumayan untuk dimasak, dicoba, dan dinikmati di saat waktu masak sempit.
Cara memasaknya gampang. Cukup tumis-tumis. Bahan-bahannya juga mudah didapat. Oke, langsung aja ya...
Bahan:
  • tiga siung bawang merah
  • satu sing bawang putih
  • cabai--untuk yang suka pedas
  • saus cabai
  • makaroni
  • telor--udah direbus
Cara memasak:
  • tumis bawang merah dan bawang putih sampai harum
  • tuang saus cabai--banyaknya sesuai selera. Kalo terlalu kental, bisa ditambah air.
  • masukkan telor rebus--banyaknya butir telur sesuai kebutuhan aja.
  • aduk-aduk, baru terakhir masukkan makaroni yang sudah direbus ya.
  • aduk-aduk sampai matang. And tara... jadi deh...
Untuk makaroni atau pasta, bisa sesuai selera. Bisa pake pasta atau makaroni bentuk yang lain atau kalo mau pake mie telor. Telor juga bisa diganti daging atau ditambah tahu dan daging. Yah, suka-suka kalian aja mau ditambah apa lagi lauknya.
Selamat kenikmati... :)
Mau kemana sih kita abis SMA? Kerja? Kuliah? Nganggur? Bimbel? Buka usaha? Ada sedikit pilihan untuk kita yang lulus SMA. Paling banyak pasti kuliah atau ikut tes-tes masuk kampus. Tapi apa kalian tau mau masuk mana. Ambil jurusan apa. Yakin dengan pilihan kalian? Atau hanya ikut-ikut teman? Atau hanya untuk gengsi masuk jurusan teratas? Atau karena disuruh orang tua? Atau kalian melihat passing grade-nya? Bagusnya kampus? Dan lain-lain.
Gak semua anak kelas dua belas tau mau kemana setelah lulus, termasuk saya. Pasti selalu ada yang bimbang, ada yang punya banyak pilihan, ada yang banyak maunya. Akibatnya, pada nyoba segala macam tes. Ada banyak alasan kenapa kita kuliah ambil jurusan A di kampus A. Kalian punya jawaban sendiri-sendiri. Tapi yang paling banyak adalah mereka yang masih tidak tahu harus kemana dan ambil jurusan apa. Jarang yang tau apa yang mereka mau benar-benar jurusan yang mereka pilih. Belum lagi kalau tidak lulus tes. Jarang yang sekali tes langsung dapet. Jarang yang dapet jurusan yang mereka mau. Kebanyakan akhirnya pasrah.
Jujur aja, ikut tes-tes sebenernya capek. Udah tiga kali tes belom juga jebol. Udah tiga kali ikut SNMPTN, belom juga lolos. Jadi dimana yang salah? Kita sejujurnya yang jadi peserta tidak benar-benar tau dimana kesalahan kita. Seperti berinvestasi, tes-tes juga perlu strategi. Sayang hanya sedikit yang tau triknya.
Orang bilang untung-untungan kalo sampe lolos. Boleh dibilang iya, tapi tidak seratus persen untung-untungan. Jadi gimana dong biar setidaknya lolos tes?
Pertama, pasti tau diri sampai dimana kemampuan kita. Kalo mau masuk kampus grade A dan jurusan yang biasa aja, tapi kemampuan kamu di bawah rata-rata, ya caranya tingkatkan kemampuan diri. Apa lagi coba?
Kedua, lepaskan segala rasa sombong—karena gue hebat, karena gue sombong—pamer, gengsi, dan ikut-ikutan temen. Rasa jelek kayak tadi bisa aja mempengaruhi kamu.
Ketiga, tentukan pilihan. Lebih bagus lagi nanya guru BP atau guru yang tau kemampuan kamu sampai mana. Mana ada sih guru yang gak mau anak didiknya kuliah? Apalagi guru kamu tau kampus-kampus mana yang bisa kamu masukin. Sering-sering ngobrol dengan orang tua. Siapa aja. Tanya pengalaman dulu ikut tes. Eh, iya, pilih juga kamu mau jurusan apa. Gak mesti jurusan yang lagi tren. Kalo kamu minat, pasti ada aja rejeki dan jalannya. Gak usah liat kalo jurusannya rendah atau sepi peminat—padahal itu kesempatan kamu masuk.
Keempat, doa, doa, dan doa. Minta dimantapkan hatinya. Doa biar masuk. Doanya yang lengkap, ya…. Misalnya: Ya Allah, saya mau masuk jurusan biologi UI tahun 2015. Sejelas-jelasnya. Kalo perlu pake kata beasiswa kalo memang butuh banget penghematan uang.
Kelima, belajar lah, nak. Apalagi yang harus dipersiapkan yang paling utama. Kita memang hanya perlu mengerjakan sekian soal dalam waktu sekian menit, tapi persiapannya bisa sampai setahun, bisa sampai muntah-muntah saking seringnya bahas soal.
Keenam, keyakinan yang kuat. Ini nih yang kadang suka goyah. Kita kadang pasrah dalam artian dimana aja deh. Seharusnya tentuin pilihan dulu—jangan banyak-banyak—baru deh pasrah kalo udah usaha dan tes. Ibarat punya anak, akan bingung orang tua kalo anaknya punya banyak pilihan saat membeli sepatu. Padahal si anak sebenernya mau merek A ukuran 39. Tapi karena terserah yang mana aja—dengan pilihan yang banyak—akhirnya orang tua beliin yang bukan anaknya mau. Tapi si anak nerima juga.
Ketujuh, jangan tergoda pilihan soal. Ini nih yang menjebak banget. Tau kan kalo soal-soal tes suka banget ngurangin poin kita kalo jawaban kita salah. Nah ini dia nih. Kebanyakan suka nyoba ngisi. Antara yakin gak yakin. Berharap kalo jawaban yang kita buletin bener dan bisa menambah nilai. Sayang aja kalo gak diisi—kecuali yang bener-bener gak tau jawabannya. Udah deh tinggalin aja—kecuali kamu yakin sama jawaban kamu seratus persen.
Ketujuh, kuasain pelajaran yang kamu bisa. Masa di antara pelajaran yang diteskan gak ada yang kamu bisa? Bahasa Indonesia? Kalo kamu jagonya di Kimia dan Biologi, kuasain sampe banget-banget. Gak masalah sama yang kamu gak bisa. Tapi setidaknya jangan sampe bener-bener kosong. Kalo hanya ada satu bab Fisika yang kamu bisa, kuasain. Lumayan kan nambah poin empat? Fokus sama pelajaran yang kamu kuasain. Kalo kamu bisanya cuma mata pelajaran dasar, yaudah kuasain. Kita kan gak pernah tau nilai kita, jadi kuasain yang kamu bisa. Sedikit apapun.
Kedelapan, karena soal strategi, kamu harus tau urutan saat memilih jurusan. Serius, jangan asal. Makanya tanya sama temen atau guru. Kalo guru atau temen juga gak tau, kamu tanya sama anak kuliahan. Kalo gak ada juga, carilah info tentang kampus yang kamu tuju dan jurusannya. Jangan asal naro pilihan. Misalnya, pilihan pertama Biologi-UI, kedua B. Inggris-Unpad, ketiga Biologi-UNJ. Jangan: Biologi-UNJ, terus terakhir baru UI. Pokoknya belajar bikin strategi. Namanya aja perang, kamu jadi komandannya.
Ini ada sedikit cerita dari temen gimana dia milih jurusan. Teman saya yang satu ini anaknya biasa saja. Tapi pinter juga—kalo dia mau belajar dengan tekun dan rajin. Dia hanya ikut satu tes: Simak UI tahun 2009. Orang tuanya membantu dia memilih jurusan. Dia anak IPS dan kebetulan dia gak tau mau ambil jurusan apa. Jadi terserah orang tuanya. Ayahnya milihan administrasi fiskal dan ilmu perpustakaan. Dia akhirnya dapet. Ternyata saat isi formulir yang secara online, orang tuanya milih kelas paralel, bukan regular. Nah di sini lah strategi orang tuanya—karena temen saya ini tipe yang masih bingung mau lulus kemana. Karena tau anaknya biasa saja dan kemungkinan diterima lebih besar adalah yang kelas paralel, maka orang tuanya melakukan strategi tadi. Sedangkan teman-teman yang ikut tes tidak ada yang keterima. Mereka memilih jurusan tinggi tanpa tau kemampuan, daya tampung, peminat, dan faktor-faktor lain. Yah, jujur, mana ada sih yang sampe nyelidikan semua yang saya sebutin. Kebanyakan pasti liat passing grade, kampusnya, dan seberapa banyak kemungkinan lolos.
Ada lagi adik kelas. Ini anak biasa aja. Gak masuk dua puluh besar di kelas. Rangking belakang mulu. Gak keliatan deh minatnya kemana. Tapi dia udah punya pilihan: IPB—dokter hewan. Udah pilihannya hanya itu. Dia doa dengan kampus dan jurusan yang dia mau dan tentu belajar. Pas tes SNMPTN dapet dia. Semua temannya tidak ada yang menyangka. See? Kalian ngerti kan gimana caranya biar setidaknya lolos? Udah gak usah mikirin saingan di sebelah saat ngerjain soal. Bayangin aja kampus dan jurusan yang kamu mau. Tapi kalo belum juga punya pilihan, aduh gimana, ya? Udah tentuin pilihan aja—tapi tau kemampuan kamu. Kalo gak suka yang ngitung-ngitung, udah masuk sastra atau jurusan IPS macam sejarah. Cari kampus yang bisa kira-kira kamu bisa masukin. Kalo emang kamu gak mau ke UI, ITB atau UGM, banyak kampus lain. Cuma kitanya aja yang gak tau. Apalagi di Jawa Barat dan Jakarta hanya ada sedikit kampus negeri—dan itu tinggi-tinggi grade-nya—dibanding di Jawa. Tapi kalo kamu tipe yang semangat, yang percaya diri, penuh keyakinan, maka yakin dengan pilihan kamu dan berusaha dan berdoa tiada henti. Jangan lupa minta doa orang tua, guru-guru, sodara dan teman-teman.
See ya…
Good luck, semoga bermanfaat… J
Tahun 2000, pertama kali pergi ke Kuningan, ke Ciniru, masih terasa betapa terpencilnya kecamatan ini. Hanya ada kolbak sebagai sarana transportasi. Pernah ada angdes(angkutan pedesaan), kalo di kota namanya angkot, tapi tidak bertahan lama. Warga lebih suka kolbak. Karena barang bawaan dari kota ke desa atau sebaliknya bisa lebih banyak tertampung. Beda dengan angdes.
Ciniru adalah ibukota kecamatan di Kuningan. Jangan pikir tidak ada apa-apa di sana. Menurutku fasilitas di ibukota kecamatan sangat lengkap. Ada kantor kecamatan, polsek, puskesmas, koramil--yang berderet di sisi jalan--ada pasar, kantor pos, dan bank BRI, rumah makan padang, warung nasi, studio foto juga ada. Penduduknya tidak sebanyak desa-desa lain. Ciniru termasuk sepi. Tapi rumah-rumah tertata dengan baik. Seperti kebanyakan rumah perantau, rata-rata rumah di Ciniru dinding rumah bagian depannya dilapisi keramik.
Air di Ciniru berasal dari tempat lain. Makanya di Ciniru ada PDAM. Airnya tidak layak karena asin. Kalo airnya dimasak, lama-kelamaan akan menyebabkan kerak di panci atau ketel. Pas awal-awal keluarga kami tinggal di Ciniru, aku sama sekali tidak minum, kecuali bikin susu atau teh. Aku sangat tidak berani minum. Sampai kami beli air galon. Karena airnya mengandung kapur, kami harus sering menyikat kamar mandi kalau tidak mau keramik kamar mandi berubah warna.
Saat musim kemarau, Ciniru akan berubah menjadi tanah tandus. Kering. Tanah di Ciniru tidak merah, tapi kuning, seperti lempung. Tidak semua tumbuhan bisa hidup. Tapi dengan kegigihan apapun bisa. Di samping rumah kami ada tanah yang bisa ditanami. Kami menanam pepaya, kangkung, termasuk pohon kurma yang tidak sengaja tumbuh. Tadinya kami punya empang di belakang rumah. Tapi sudah kering. Kalau sudah musim hujan, walau letaknya bukan di bukit, tapi di kelilingi bukit, kadang suka ada kabut yang turun. Hanya di Ciniru, di Kuningan aku merasakan kabut. Karena jalan di Ciniru adalah jalan utama, maka kendaraan lalu-lalang di depan rumah kami.
Sepuluh tahun tinggal di Ciniru, di Kuningan, kami pulang kota. Kembali ke kampung halaman. Bagi kami, Ciniru-Kuningan adalah kota kedua.
Jangan ditanya jenis-jenis kopi. Saya hanya penikmat. Hanya peminum. Itupun kopinya kopi instan. Kalo yang masih kopi asli, ya, cuma kopi Liong yang paling pas di lidah. Sebagai pemilik lidah yang peka terhadap rasa pahit, saya selalu menambahkan gula. Kalo gak, gak berani minum.
Kopi punya pengaruh besar bagi saya. Sensasi setelah beberapa jam minum kopi bisa menambah semangat. Kopi menemani saya pagi, siang, sore, malem. Kalo gak ngopi kayak ada yang kurang.
Pengen sih nyoba kopi-kopi yang lain, tapi sungguh lidah saya bukan penyicip yang baik--tapi peka pahit yang baik. Jadi, saya hanya peminum. 
Sejujurnya sih gak terlalu suka kopi yang masih murni item dan bubuk. Pernah minum kopi lampung. Gak, gak suka. Pokoknya kalo kopi item masih mikir-mikir ribuan kali. Kalo pun ada yang ngasih sebagai oleh-oleh, mungkin saya hanya akan menyeduhnya sekali. Daripada dibuang--mubazir--bisa bermanfaat untuk hal yang lain. Ngusir bau tak sedap, misalnya, atau jadi scrap luluran. Banyak manfaatnya.
Bahasa Arab kopi adalah kohwah(bener gak,sih?) dan bahasa umumnya--kalo diterjemahkan ke dalam bahasa lain--adalah kopi. Adakah bahasa lain dari kopi? Misalnya, kalo dalam bahasa Rusia atau Swahili.
Kita-orang Indonesia--juga punya budaya ngopi. Yah, kalian tau lah gimana kalo bapak-bapak ngopi item di warung-warung. Saya kenal kopi sejak kecil. Om saya yang 'mencekoki'. Katanya--pas cerita--kalo beliau lagi ngopi, suka manggil-manggil saya dari rumah. Saya sangat menyukai kekeluargaan dalam keluarga saya. Mungkin karena kami semua tinggal dalam satu kampung yang sama sejak ratusan tahun, jadi sejauh apapun kalo dirunut urutannya, sangat terasa kedekatannya. Tidak peduli sudah dua kali misan atau hubungan keluarganya baru ketemu di kakek atau empi--maap jadi nulis tentang keluarga.
Pernah pas lebaran, ada parsel yang isinya Nescafe lengkap dengan cream-nya. Entah berapa kali saya bolak-balik ke dapur buat bikin kopi. Dan kalo diingat-ingat saat itu saya masih SD. Tapi saya baru merasakan sensasi ngopi--efek dari kopi--saat kuliah.
Sepertinya memang bukan saya doang yang suka ngopi. Pasti banyak. Banyak. Mau itu yang bikin kopi instan atau kopi tubruk. Mau itu kopi murah sebungkus seribu atau kopi mahal yang bisa jutaan per kilonya. Yang penting ngopi.
Suka kesel kalo ngeliat orang buang sampah gitu aja. Pandangan saya akan orang tersebut langsung berkurang hanya karena buang sampah sembarangan. Percuma kalo hanya mengeluh dan bicara panjang lebar kalo sampah berserakan dimana-mana, gak 'nyaman' melihat tumpukan sampah, dan bau-baunya yang menyengat. Hey, lihat diri kita sendiri. Apa kita sudah membuang sampah dengan baik dan benar? Apa kita tidak termasuk orang-orang yang buang sampah seenaknya? Kalo kita masih termasuk kelompok yang tadi, cobalah untuk berhenti bicara dan mengeluh tentang sampah yang tak terurus--termasuk akibat dari sampah--dan cobalah untuk mengurus sampah hasil dari diri kita sendiri, sekecil apapun. Mau itu bungkus permen, bungkus kripik, apapun yang jadi sampah.
Sampah tidak hanya diurus oleh petugas, tapi oleh kita yang menghasilkan sampah. Kita lah yang bertanggung jawab lebih dari siapa pun. Apa kita mau menyalahkan petugas kebersihan? Atau pejabat di divisi lingkungan hidup?
Cobalah untuk memulai dari diri kita tanpa harus melihat dan membandingkan orang lain. Hal kecil ini setidaknya akan berpengaruh besar tanpa kita sadari. Lakukanlah pelan-pelan. Satu kegiatan ini akan menjadi kebiasaan karena dilakukan secara berulang-ulang. Lalu menjadi suatu kebudayaan. Let's do it now!!!
Mask atau masker. Itu adalah benda wajib saat ini bagi pengendara motor dan pejalan kaki--pokoknya siapa saja yang bepergian. Entah sejak kapan masker jadi komoditi yang harus dimiliki. Apakah itu hanya untuk menutupi hidung dari debu-debu jalanan. Apakah itu untuk style atau untuk koleksi. Kalau dilihat-lihat, saat ini masker punya banyak bentuk dan motif. Yah, kalian tahu sendiri bagaimana bentuk dan motif masker tanpa harus saya jelaskan.
Tidak hanya di Indonesia, bagi K-Pop-ers atau yang suka banget dengan Korea dan budayanya, banyak selebriti di sana yang bergaya dengan maskernya. Yah, dengan masker. Apa mereka yang mempengaruhi kita atau sebaliknya. Entahlah. Tapi ada hal yang unik. Masker sangat identik dengan seorang sensei dari Konoha. Tapi saya juga tidak bisa mengatakan bahwa Kakashi lah yang mempopulerkan masker.
Masker bisa membuat seseorang menjadi sedikit misterius atau juga tidak. Namun, harus diingat masker adalah pelindung pertama kita di jalan dari udara yang tidak sehat dan bisa juga menjadi sumber penyakit jika tidak bersih.
Terlepas dari tren dan maraknya penjualan masker yang juga ikut mendongkrak perekonomian pedagang kecil dan besar, kita juga bisa membuat masker sendiri. Satu lagi, usahakanlah untuk membeli masker yang tidak sekali pakai. Karena semakin banyak masker sekali pakai yang kita beli, maka akan semakin banyak sampah masker yang entah bisa didaur ulang atau tidak.
Sekali lagi, bijaklah dalam membeli masker, bukan hanya karena tren atau motifnya yang unik-unik.
Ja ne....
Percaya atau gak, aktor atau aktris  yang memerankan tokoh sejarah mempengaruhi sudut pandang kita melihat pelaku sejarah yang notabene tidak pernah bertemu dengan kita atau hidup di masa kita. Contohnya: Jenderal Besar Choi Young yang diperankan Lee Min Ho. Tidakkah kita akan menganggap beliau seperti itu? Siapa lagi? Banyak pasti contohnya. Bisa kalian cari sendiri aktor-aktris Hollywood yang berperan sebagai tokoh sejarah. Kalo di Indonesia?
Langganan: Postingan ( Atom )

Featured Post

DATA IN-OUT DUIT

28/9/2015 Kadang di akhir bulan kita bertanya kemana saja uang gaji yang kita terima. Kemana saja perginya uang-uang tadi? Kita hanya tahu...

Iklan Gratis
Memuat

Total Tayangan Halaman

Google
Custom Search

Categories

  • berhenti sejenak (38)
  • film (4)
  • language (9)
  • motivation (4)
  • my culture (2)
  • my friend (2)
  • my mind (49)
  • my observ (40)
  • my resep (1)
  • the world (61)
  • tips (9)
  • tips: berpakaian (3)
  • tips: kesehatan (3)
  • tips: perawatan (1)

My Blog List

Diberdayakan oleh Blogger.

about me

Foto saya
limun
Hello, I'm Limun. I try really hard to fix my own life. You too? Manage my time and my life.
Lihat profil lengkapku

my friend

Archive

  • ► 2025 (2)
    • ► Juni (1)
    • ► Mei (1)
  • ► 2021 (8)
    • ► Desember (1)
    • ► November (3)
    • ► Maret (4)
  • ► 2020 (6)
    • ► Juli (2)
    • ► Juni (4)
  • ► 2019 (17)
    • ► Juni (6)
    • ► Maret (4)
    • ► Februari (7)
  • ► 2018 (15)
    • ► Oktober (8)
    • ► September (3)
    • ► Mei (1)
    • ► April (3)
  • ► 2017 (29)
    • ► Oktober (2)
    • ► September (4)
    • ► Agustus (3)
    • ► Mei (7)
    • ► April (6)
    • ► Maret (1)
    • ► Februari (6)
  • ► 2016 (63)
    • ► Desember (24)
    • ► November (23)
    • ► Oktober (8)
    • ► Juni (4)
    • ► Maret (4)
  • ▼ 2015 (95)
    • ► Desember (3)
    • ► November (8)
    • ► Oktober (11)
    • ► September (11)
    • ► Juni (3)
    • ► Mei (2)
    • ▼ April (40)
      • Anak Peniru Terbaik
      • BADAN SAMPIRAN
      • BIOGAS
      • JALAN KAKI
      • TUNGGANGAN
      • PLASTIK DI MUSIM HUJAN
      • CARA MEMBUAT PASSPORT
      • Pak Hamzah
      • ABAU AND PRINTER
      • TIPS: Membawa Perlengkapan Mandi Saat Jalan-jalan
      • Your Job
      • PENGALAMAN MENGIRIMKAN NASKAH KE PENERBIT
      • WHY MENULIS?
      • Apa Di Sekolah Kalian Info-Info Kuliah Begitu Muda...
      • Book's Day
      • Too Much Pilihan
      • YOUR KINDNESS
      • YAKIN?
      • THE EARS AND OTHERS
      • ORANG ASING
      • THE BAJU
      • HABISKAN KERTASMU!!!
      • SABAR DAN SYUKUR
      • GO GReen? WHAT'S 'GO GREEN'?
      • TERKADANG...
      • The Eyes
      • EATING, FOOD AND MEAL
      • Kertas Karbon
      • Dimana Mencari Info Kuliah?
      • Sejarah Islam
      • GREEN KAMPUS
      • Antara Mama-Papa dan Umi-Abah
      • PILIH NAMA SENDIRI?!
      • RESEP MASAKAN
      • MAU KEMANA DARI SMA?
      • LITTLE TOWN: CINIRU
      • COFFE
      • SAVE YOUR GARBAGE
      • MASK
      • Aktor/Aktris dan Tokoh Sejarah
    • ► Maret (17)
  • ► 2014 (11)
    • ► November (1)
    • ► Oktober (3)
    • ► September (6)
    • ► Februari (1)
  • ► 2012 (16)
    • ► Desember (1)
    • ► Januari (15)
  • ► 2011 (26)
    • ► Desember (3)
    • ► November (3)
    • ► Oktober (2)
    • ► September (3)
    • ► Agustus (1)
    • ► Juli (4)
    • ► Juni (3)
    • ► Mei (7)
  • ► 2010 (10)
    • ► Juni (1)
    • ► April (1)
    • ► Maret (1)
    • ► Januari (7)
  • ► 2008 (1)
    • ► Oktober (1)
AllBlogTools.com Blogger Templates

Latest Posts

  • Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara
    Awalnya saya mencari-cari dimana Skotlandia? Dimana letak negara ini? Kalian tahu dimana? Beberapa tahun kemudian saya tahu dimana letak...
  • WhatsApp Initializing
    Pernah mengalami WhatsApp susah di-instal ulang? Notifnya “initializing” atau apalah ejaan Inggrisnya. Saya pernah mengalami kejadian i...
  • Pekerjaan Suami Saya Cuma Petani
    Kalo lagi kumpul-kumpul bareng teman lama, terutama karena udah pada berkeluarga, pasti ngomongin pekerjaan suami. Beberapa teman bisa ...

Visitors

free counters
Free counters
Copyright 2014 Journey of My Life.
Distributed By My Blogger Themes | Designed By OddThemes