Seperti biasa dan sesuai dugaan,
macet melanda tugu. Aku dan temanku baru pulang dari pusat perbelanjaan di dekat
UI. Kukira kami akan berpisah di depan masjid pertigaan sana, tapi dia
mengantarku sampai rumah. Kondisi jalan yang macet(di tugu) membuatku sampai di
rumah setengah delapan. Sekitar sepuluh menit lebih lama. Motor perlahan-lahan
maju. Sampai di perempatan tugu yang penuh deru mesin motor dan mobil, aku
melihat seorang kakek berkaus putih dan berpeci putih menyebrang dibantu tukang
parkir. Begitu motor kami berhasil maju masuk kea rah depan, sekilas aku
melihat kakek tadi yang sedang duduk di kursi plastik di depan mi ayam tugu.
Beliau membawa plastik bening entah berisi apa. Mungkin belanjaan dari warung.
Tapi bukan itu yang kupikirkan.
Aku berpikir, dulu pasti mudanya
kampung tempatnya tinggal tidak seramai sekarang. Dulu pasti kampungnya
mayoritas adalah penduduk asli dan masih saudara. Dulu pasti menyebrang jalan
tidak perlu tengok kanan kiri. Dulu pasti tidak sepadat sekarang. Aku pun yang
asli kampung sini tidak menyangka kasus kemacetan terjadi di daerah yang dulu
kampung.
Waktu berjalan cepat. Masa muda
kakek sudah lama berlalu. Dan sekarang kendaraan tidak seperti zamannya dulu.
Jalan adalah milik yang bermotor, bukan yang berjalan kaki. Seakan semakin
mahal dan besar kendaraannya, semakin berkuasa ia di jalan. Padahal pejalan kaki
lebih harus dihargai.
Susahnya menyebrang di kampung
sendiri.
14/10/2016
ABOUT THE AUTHOR
I really thank you for looking and read my blog. Have a nice day! And always be a good person everyday
0 komentar:
Posting Komentar