Aku dan (persinggungan dengan) FLP



Sebelumnya, perhatian sebentar, aku jelaskan kondisiku dulu. Pertama, aku bukan anggota FLP.  Kedua aku hanya share pengelamanku dulu yang sedikit berhubungan dengan FLP.
Aku berhabiskan waktu dua tingkat masa sekolahku di pondok. Di tempat inilah saat kelas satu tsanawiyah aku mengenal buku-buku novel berukuran kecil terbitan Mizan, Syamil, atau Gema Insani Press. Saat itu juga aku mengenal nama-nama penulis fiksi seperti Afifah Afra, Sinta Yudisia, Mutaqwiati, Asma Nadia, dan masih banyak lagi. semakin naik kelas, semakin banyak yang aku baca dan penulisnya pun bertambah. Nama penulis seperti Tasaro masuk daftar-ku (kenyataannya daftar sesama santri yang suka karya-karya mereka). Dari baca inilah aku tau komunitas penulis FLP.
Awal kelas sebelas kalau tidak salah (aku lupa) ada klub atau ekskul sastra di pondok. Namanya sih keren, tapi sebagaimana segala ekskul di pondok yang hanya panas-panas, semangat di depan, semakin ke sana semakin redup. Dengan semangat aku mendaftar. Syarat: membuat satu cerpen dengan ketentuan sekian lembar kertas. Maklum di pondok, jadi tidak ada ketikan, yang ada tulis tangan, walau tidak dilarang jika ada yang mau diketik. Kukira akan susah masuk, mengingat cerpenku biasa saja dan pasti tersingkir oleh adik kelas atau yang karyanya lebih bagus. Tak disangka masuk dan ternyata semua yang mendaftar, asal membuat cerpen pasti diterima—namanya juga ekskul baru.
Pertemuan pertama pun dimulai: di aula paling bagus di pondok (selanjutnya sih di kelas biasa). Isinya masih perkenalan dan penyambutan di ekskul sastra. Tak disangka ternyata guru kami pernah atau masih menjadi anggota FLP waktu dulu kuliah dan sekarang—saat itu—termasuk pengurus di Kuningan. Jadi, kata beliau, pondok kami akan jadi ranting dari FLP Kuningan. Wow! Tidak disangka komunitas yang selama ini cuma kubaca di setiap biodata penulis di akhir halaman penulis ada di sekolahku. Keren!!!
Pertemuan berikutnya membahas apa saja kegiatan nantinya. Kami mendapat foto kopian sekian lembar kertas yang dibagi menjadi beberapa divisi yang berhubungan dengan ekskul sastra. Aku ditunjuk menjadi salah satu bagian penting divisi—lupa jadi ketua divisi atau wakil—aku tentu senang, ini bagian dari mimpiku. Mungkin kenapa aku dipilih karena paling tua, hehe.
Melihat lembar demi lembar fotokopian, banyak sekali agenda kami untuk ke depan. Setidaknya satu semester. Wah ini akan jadi hal yang menarik. Tapi seperti apa yang aku sebut di atas, hanya panas-panas di awal, semakin ke sana semakin sedikit yang datang dan tak jelas mana yang ikut ekskul. Belum ada satu pun agenda yang berjalan, akhinya redup begitu saja—termasuk nasib ekskul lain.
Hanya segitu persinggunganku dengan komunitas penulis yang sudah melahirkan banyak penulis hebat. Aku sendiri tidak tahu apa benar kalau kami ranting seperti yang guruku katakan dan aku tidak bisa bilang kalo judul  tulisan ini cocok dengan isinya. Aku tidak tahu apa ini berarti udah kenal FLP. Udah masuk ekskul sastra aja udah seneng.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

I really thank you for looking and read my blog. Have a nice day! And always be a good person everyday

0 komentar:

Posting Komentar