Dokter, Enggak Jadi Dokter
Cita-citaku umum, ingin menjadi dokter. Cita-cita yang kupegang sampai kelas
enam SD. Lalu berganti menjadi dokter anak, lalu dokter gigi (aku lupa mana
yang duluan). Tak lama berganti menjadi arsitek. Arsitek yang paling bertahan
lama. Tapi begitu mau kuliah aku harus memilih menjadi penerus ibuku atau
menjadi arsitek. Dan kenyataannya hidup membawaku pada teknik sipil. Sambil
kuliah aku pernah mencoba mendaftar masuk FK di PTS. Lulus dengan hasil grade A
dan nilai psikotes superior. Berlanjut ke sesi wawancara berdua ibuku, dapet
diskon karena orang tua dokter. Tapi kulepas begitu saja hanya karena melihat
kalau ibuku tidak seantusias itu dan kenyataan kalau uang adalah intinya.
Saat aku menelepon bagian pendaftaran ulang, menelepon ibu yang sudah sedikit
akrab denganku, aku hanya bisa menangis di depan foto kopian saat aku dan
temanku sedang mengurus keperluan acara rohis.
Butuh waktu untuk melepas cita-cita yang melekat. Hal paling dekat yang
kulakukan sejak kecil: ikut jaga klinik bersama ibu, menerima pasien di bagian
pendaftaran dan nyalin kertas rawat jalannya, bantu bikin dan bungkus puyer, liat
dijait, biasa dengar teriakan kalo ada yang disunat. Udah gede disuruh beli
obat di apotek untuk stok. Tapi itu semua harus berhenti karena ketidakyakinan
mereka kalau bisa membiayai segalanya sampai selesai.
Kulepas pelan-pelan, bertahun-tahun. Jika ada waktu kepalaku kosong dan
ingat itu, air mata akan turun. Jika aku ingat betapa aku sudah melewati proses
pendaftaran; belajar mengulang pelajaran saat kuliah; baca buku Biologi, di
saat teman-teman pulang, aku menulis pelajaran Biologi di papan tulis; kembali
air mata turun. Sekali waktu aku pernah mengatakan hal yang tidak penting yang
pasti menyakiti hati ibuku kalau seandainya saja… Aku hanya bisa menghela
napas. Mengungkapkannya bukan hal yang tepat.
Aku masih belajar melepasnya. Belajar kalau masih banyak yang harus kukejar.
Aku masih berusaha. Masih tidak masalah melepasnya. Dan setelah dipikir-pikir
ada baiknya aku tidak jadi dokter. Aku tukang tidur, kata ibuku, “gimana kalau
jaga malam?” Saat aku mengatakan kalau mau ambil spesialis kandungan nanti, ibuku
seakan meminta untuk mempertimbangkan karena akan sering bekerja malam atau ‘diganggu’
pasien malam-malam.
Yah, ada baiknya tidak jadi dokter.
Saat ulang tahunku tahun lalu, ibuku berdoa semoga aku mendapatkan suami
dokter (seperti doa ayahku yang mendapatkan istri dokter). Aku hanya bisa “Amin”
dan biasa saja, Bukan itu yang penting.
ABOUT THE AUTHOR
I really thank you for looking and read my blog. Have a nice day! And always be a good person everyday
0 komentar:
Posting Komentar