Journey of My Life

seputar catatan yang katanya jurnal

  • Home
Home Archive for Oktober 2016
Kembali ke masa kecil, pertengahan tahun 90-an, hal yang umum kalau ada kondangan tamunya bawa beras di bakul besi yang nanti diisi balik sama yang punya hajat dengan kue-kue khas kayak uli dan ketan, kue merah putih, kue lapis basah, dan lauk pauk. Di saat itu juga hal yang biasa tiap Lebaran, tiap malam takbiran, pasti ada sodara yang datang bawa semur daging, ketupat, sayur godog, pokoknya rantang besi yang ditumpuk lima atau empat atau lebih isinya makanan.
Kalo bundelan kain kayaknya pas aku kecil udah gak ada, kecuali yang aku tonton di film-film pendekar kayak Angling Darma atau Tutur Tinular.
Sekarang, semakin banyaknya variasi dalam membungkus dan membawa makanan, kebanyakan memakai plastik kiloan, dus makanan, besek plastik. Kayaknya udah hilang bawa makanan di bakul besi dan rantang. Rantang aja udah banyak yang plastik. Jadi kalo ada kondangan atau Lebaran, plastik-plastik kiloan laris manis sebagai pembungkus makanan. Di satu sisi praktis, di sisi lain kekhasan kearifan lokal yang secara tidak sadar lebih ramah lingkungan hilang begitu saja.
Nah, beda di sini, beda di Jepang. Di negeri asal Naruto ini, membungkus makanan atau sesuatu dengan furoshiki. Mirip buntelan, tapi ikatannya bisa macam-macam. Bisa dipakai untuk membungkus botol, hadiah, atau kotak makan. Bentuknya unik dan teknik membungkusnya bisa susah. Aku sendiri tidak tahu bagaimana bikin furoshiki. Biasanya bahan furoshiki dari kain dengan motif yang juga macam-macam. Kalo mau tahu lebih lanjut tentang furoshiki, searching aja sendiri.
Itu sekilas tentang wadah yang saat ini sudah jarang terlihat dan digunakan, tergantikan dengan bahan lain yang lebih murah, ringan dan sekali pakai.


Sering kalo dateng kondangan ketemu sama souvenir yang itu lagi, itu lagi, lu lagi, lu lagi. Macam: kipas, bros, gunting kuku, gantungan gak jelas, cermin, dsb. Beberapa mungkin penting, seperti ma’tsurot, pouch, tempat tisu, tapi kalo udah banyak kayaknya jadi udah gak menarik; jadi hanya menumpuk di rumah. Tanpa bermaksud tidak hormat pada yang punya hajat, lebih baik gak ngambil souvenir; lebih baik buat yang lain yang suka souvenir nikah. Gak masalah. Bukan souvenir yang jadi tujuan kondangan. Kalo souvenirnya sangat berguna seperti gelas, biasanya aku ambil, hehe… 
Itu aja sih yang mau aku tulis. Kalo kalian sependapat denganku atau tidak boleh di-share bareng. :)


Sebelumnya, perhatian sebentar, aku jelaskan kondisiku dulu. Pertama, aku bukan anggota FLP.  Kedua aku hanya share pengelamanku dulu yang sedikit berhubungan dengan FLP.
Aku berhabiskan waktu dua tingkat masa sekolahku di pondok. Di tempat inilah saat kelas satu tsanawiyah aku mengenal buku-buku novel berukuran kecil terbitan Mizan, Syamil, atau Gema Insani Press. Saat itu juga aku mengenal nama-nama penulis fiksi seperti Afifah Afra, Sinta Yudisia, Mutaqwiati, Asma Nadia, dan masih banyak lagi. semakin naik kelas, semakin banyak yang aku baca dan penulisnya pun bertambah. Nama penulis seperti Tasaro masuk daftar-ku (kenyataannya daftar sesama santri yang suka karya-karya mereka). Dari baca inilah aku tau komunitas penulis FLP.
Awal kelas sebelas kalau tidak salah (aku lupa) ada klub atau ekskul sastra di pondok. Namanya sih keren, tapi sebagaimana segala ekskul di pondok yang hanya panas-panas, semangat di depan, semakin ke sana semakin redup. Dengan semangat aku mendaftar. Syarat: membuat satu cerpen dengan ketentuan sekian lembar kertas. Maklum di pondok, jadi tidak ada ketikan, yang ada tulis tangan, walau tidak dilarang jika ada yang mau diketik. Kukira akan susah masuk, mengingat cerpenku biasa saja dan pasti tersingkir oleh adik kelas atau yang karyanya lebih bagus. Tak disangka masuk dan ternyata semua yang mendaftar, asal membuat cerpen pasti diterima—namanya juga ekskul baru.
Pertemuan pertama pun dimulai: di aula paling bagus di pondok (selanjutnya sih di kelas biasa). Isinya masih perkenalan dan penyambutan di ekskul sastra. Tak disangka ternyata guru kami pernah atau masih menjadi anggota FLP waktu dulu kuliah dan sekarang—saat itu—termasuk pengurus di Kuningan. Jadi, kata beliau, pondok kami akan jadi ranting dari FLP Kuningan. Wow! Tidak disangka komunitas yang selama ini cuma kubaca di setiap biodata penulis di akhir halaman penulis ada di sekolahku. Keren!!!
Pertemuan berikutnya membahas apa saja kegiatan nantinya. Kami mendapat foto kopian sekian lembar kertas yang dibagi menjadi beberapa divisi yang berhubungan dengan ekskul sastra. Aku ditunjuk menjadi salah satu bagian penting divisi—lupa jadi ketua divisi atau wakil—aku tentu senang, ini bagian dari mimpiku. Mungkin kenapa aku dipilih karena paling tua, hehe.
Melihat lembar demi lembar fotokopian, banyak sekali agenda kami untuk ke depan. Setidaknya satu semester. Wah ini akan jadi hal yang menarik. Tapi seperti apa yang aku sebut di atas, hanya panas-panas di awal, semakin ke sana semakin sedikit yang datang dan tak jelas mana yang ikut ekskul. Belum ada satu pun agenda yang berjalan, akhinya redup begitu saja—termasuk nasib ekskul lain.
Hanya segitu persinggunganku dengan komunitas penulis yang sudah melahirkan banyak penulis hebat. Aku sendiri tidak tahu apa benar kalau kami ranting seperti yang guruku katakan dan aku tidak bisa bilang kalo judul  tulisan ini cocok dengan isinya. Aku tidak tahu apa ini berarti udah kenal FLP. Udah masuk ekskul sastra aja udah seneng.


Lagi-lagi peristiwa yang sama terulang. Enggak tau deh udah berapa kali bikin baju sendiri, adek atau Umi kena luntur. Kali ini kaos putih punya ade keduaku yang jadi korban. Kaos yang belum lama dia beli lewat online. Kaos yang jadi barang berharganya karena Cuma punya baju setumpuk doang—iya setumpuk di dalama lemari yang dipake berempat. Mana lagi bulan puasa. Dengan memberanikan diri aku bangunin ade kedua, bilang pelan-pelan kalo kaosnya kena luntur baju merah. Selain kaos, sweter lengan panjang ade pertamaku juga kena, tapi Cuma dibagian lengan sama bahu dikit. Ade keduaku yang bangun udah langsung sadar, langsung tereak kesel, nyesel sama apa yang terjadi. Aku juga kalo tau itu baju merah bakalan luntur gak bakal aku campur. Tapi selalu hal tak terpikirkan terjadi. Abis itu ade keduaku kembali tidur, berusaha tidur lagi dan aku kembali nyuci, ngucek cucian.
Aku tau kaos adalah segalanya untuk dua adeku yang cowok. Udah mah cuma punya dikit, sekalinya beli yang bagus selalu kena kasus karena cuci-mencuci. Belum lagi kalo kaosnya udah gak simetri karena mesin cuci yang kasar. Jadi agak menyon gitu, jadi melar gimana gitu, termasuk kalo sablonannya yang timbul agak kekopet—apa yah bahasa yang enaknya, maksudnya sedikit terlepas gitu dari tempelanya di kaos, yah gitu lah. Bikin mereka males make kalo jalan keluar rumah. Sepertinya kaos adalah segalanya untuk mereka (atau laki-laki).
Segera aku berpikir gimana cara ngilangin luntur yang gak cantik itu di kaosnya. Kalo yang lengan sweter syukur masih bisa berkurang. Tapi kaos ade kedua kayak udah nempel paten, seakan itu warna aslinya. Tadi pas tau luntur aku segera memisahkan baju penyebabnya, mengganti air dengan yang baru untuk dua baju adeku. Aku masih mikir. Pernah lagi itu nemu artikel gimana cara ngilangin lunturan, pake baking soda apa sama cuka. Tapi berarti bukan sekarang. Harus beli dulu. Satu lagi yang bisa yah Vanish—maap bukan iklan—tapi abis. Akhirnya itu dua baju korban lunturan direndem aer aja dulu sambil aku jemur cucian yang selese diperes mesin cuci.
Sore, aku kira ade keduaku masih marah dan kesel, dia tiba-tiba manggil aku. Aku pun deketin dia di tempat nyuci. Dengan sumringah dia bilang warnanya bagus. Hehe… iya lunturannya udah rata sebaju dan bikin kaos dia jadi pink. Enggak tau kenapa dia malah seneng. Seakan Eureka gitu yah. Oke aku bisa tenang. Tidak terbebani dan merasa bersalah. Jadi aku bilang ke dia, “kalo mau nyuci baju sendiri”. Biar kalo kenapa-napa bajunya, yah salah sendiri.
Besokannya, pas angkat jemuran, wah kaos adeku udah gak kemerahan lagi, pinknya juga gak terlalu keliatan. Emang matahari membantu baju lebih bersih, hehe…
Besokannya, besokannya lagi sampai beberapa bulan setelah terjadi kasus lunturan, kaos putih adeku kembali normal. Malah sekarang kayaknya udah keliatan sedikit kuning, gak putih kinclong.


Seperti biasa dan sesuai dugaan, macet melanda tugu. Aku dan temanku baru pulang dari pusat perbelanjaan di dekat UI. Kukira kami akan berpisah di depan masjid pertigaan sana, tapi dia mengantarku sampai rumah. Kondisi jalan yang macet(di tugu) membuatku sampai di rumah setengah delapan. Sekitar sepuluh menit lebih lama. Motor perlahan-lahan maju. Sampai di perempatan tugu yang penuh deru mesin motor dan mobil, aku melihat seorang kakek berkaus putih dan berpeci putih menyebrang dibantu tukang parkir. Begitu motor kami berhasil maju masuk kea rah depan, sekilas aku melihat kakek tadi yang sedang duduk di kursi plastik di depan mi ayam tugu. Beliau membawa plastik bening entah berisi apa. Mungkin belanjaan dari warung. Tapi bukan itu yang kupikirkan.
Aku berpikir, dulu pasti mudanya kampung tempatnya tinggal tidak seramai sekarang. Dulu pasti kampungnya mayoritas adalah penduduk asli dan masih saudara. Dulu pasti menyebrang jalan tidak perlu tengok kanan kiri. Dulu pasti tidak sepadat sekarang. Aku pun yang asli kampung sini tidak menyangka kasus kemacetan terjadi di daerah yang dulu kampung.
Waktu berjalan cepat. Masa muda kakek sudah lama berlalu. Dan sekarang kendaraan tidak seperti zamannya dulu. Jalan adalah milik yang bermotor, bukan yang berjalan kaki. Seakan semakin mahal dan besar kendaraannya, semakin berkuasa ia di jalan. Padahal pejalan kaki lebih harus dihargai.
Susahnya menyebrang di kampung sendiri.

14/10/2016
Cita-citaku umum, ingin menjadi dokter. Cita-cita yang kupegang sampai kelas enam SD. Lalu berganti menjadi dokter anak, lalu dokter gigi (aku lupa mana yang duluan). Tak lama berganti menjadi arsitek. Arsitek yang paling bertahan lama. Tapi begitu mau kuliah aku harus memilih menjadi penerus ibuku atau menjadi arsitek. Dan kenyataannya hidup membawaku pada teknik sipil. Sambil kuliah aku pernah mencoba mendaftar masuk FK di PTS. Lulus dengan hasil grade A dan nilai psikotes superior. Berlanjut ke sesi wawancara berdua ibuku, dapet diskon karena orang tua dokter. Tapi kulepas begitu saja hanya karena melihat kalau ibuku tidak seantusias itu dan kenyataan kalau uang adalah intinya.
Saat aku menelepon bagian pendaftaran ulang, menelepon ibu yang sudah sedikit akrab denganku, aku hanya bisa menangis di depan foto kopian saat aku dan temanku sedang mengurus keperluan acara rohis.
Butuh waktu untuk melepas cita-cita yang melekat. Hal paling dekat yang kulakukan sejak kecil: ikut jaga klinik bersama ibu, menerima pasien di bagian pendaftaran dan nyalin kertas rawat jalannya, bantu bikin dan bungkus puyer, liat dijait, biasa dengar teriakan kalo ada yang disunat. Udah gede disuruh beli obat di apotek untuk stok. Tapi itu semua harus berhenti karena ketidakyakinan mereka kalau bisa membiayai segalanya sampai selesai.
Kulepas pelan-pelan, bertahun-tahun. Jika ada waktu kepalaku kosong dan ingat itu, air mata akan turun. Jika aku ingat betapa aku sudah melewati proses pendaftaran; belajar mengulang pelajaran saat kuliah; baca buku Biologi, di saat teman-teman pulang, aku menulis pelajaran Biologi di papan tulis; kembali air mata turun. Sekali waktu aku pernah mengatakan hal yang tidak penting yang pasti menyakiti hati ibuku kalau seandainya saja… Aku hanya bisa menghela napas. Mengungkapkannya bukan hal yang tepat.
Aku masih belajar melepasnya. Belajar kalau masih banyak yang harus kukejar. Aku masih berusaha. Masih tidak masalah melepasnya. Dan setelah dipikir-pikir ada baiknya aku tidak jadi dokter. Aku tukang tidur, kata ibuku, “gimana kalau jaga malam?” Saat aku mengatakan kalau mau ambil spesialis kandungan nanti, ibuku seakan meminta untuk mempertimbangkan karena akan sering bekerja malam atau ‘diganggu’ pasien malam-malam.
Yah, ada baiknya tidak jadi dokter.
Saat ulang tahunku tahun lalu, ibuku berdoa semoga aku mendapatkan suami dokter (seperti doa ayahku yang mendapatkan istri dokter). Aku hanya bisa “Amin” dan biasa saja, Bukan itu yang penting.

Langganan: Postingan ( Atom )

Featured Post

DATA IN-OUT DUIT

28/9/2015 Kadang di akhir bulan kita bertanya kemana saja uang gaji yang kita terima. Kemana saja perginya uang-uang tadi? Kita hanya tahu...

Iklan Gratis
Memuat

Total Tayangan Halaman

Google
Custom Search

Categories

  • berhenti sejenak (38)
  • film (4)
  • language (9)
  • motivation (4)
  • my culture (2)
  • my friend (2)
  • my mind (49)
  • my observ (40)
  • my resep (1)
  • the world (61)
  • tips (9)
  • tips: berpakaian (3)
  • tips: kesehatan (3)
  • tips: perawatan (1)

My Blog List

Diberdayakan oleh Blogger.

about me

Foto saya
limun
Hello, I'm Limun. I try really hard to fix my own life. You too? Manage my time and my life.
Lihat profil lengkapku

my friend

Archive

  • ► 2025 (2)
    • ► Juni (1)
    • ► Mei (1)
  • ► 2021 (8)
    • ► Desember (1)
    • ► November (3)
    • ► Maret (4)
  • ► 2020 (6)
    • ► Juli (2)
    • ► Juni (4)
  • ► 2019 (17)
    • ► Juni (6)
    • ► Maret (4)
    • ► Februari (7)
  • ► 2018 (15)
    • ► Oktober (8)
    • ► September (3)
    • ► Mei (1)
    • ► April (3)
  • ► 2017 (29)
    • ► Oktober (2)
    • ► September (4)
    • ► Agustus (3)
    • ► Mei (7)
    • ► April (6)
    • ► Maret (1)
    • ► Februari (6)
  • ▼ 2016 (63)
    • ► Desember (24)
    • ► November (23)
    • ▼ Oktober (8)
      • Rantang, Bakul Besi, Bundelan, dan Furoshiki
      • Souvenir Nikah
      • Aku dan (persinggungan dengan) FLP
      • Kasus Kaos Cowok
      • Kakek dan Deru Macet
      • Dokter, Enggak Jadi Dokter
      • Tuntutan
      • Turning Point #1
    • ► Juni (4)
    • ► Maret (4)
  • ► 2015 (95)
    • ► Desember (3)
    • ► November (8)
    • ► Oktober (11)
    • ► September (11)
    • ► Juni (3)
    • ► Mei (2)
    • ► April (40)
    • ► Maret (17)
  • ► 2014 (11)
    • ► November (1)
    • ► Oktober (3)
    • ► September (6)
    • ► Februari (1)
  • ► 2012 (16)
    • ► Desember (1)
    • ► Januari (15)
  • ► 2011 (26)
    • ► Desember (3)
    • ► November (3)
    • ► Oktober (2)
    • ► September (3)
    • ► Agustus (1)
    • ► Juli (4)
    • ► Juni (3)
    • ► Mei (7)
  • ► 2010 (10)
    • ► Juni (1)
    • ► April (1)
    • ► Maret (1)
    • ► Januari (7)
  • ► 2008 (1)
    • ► Oktober (1)
AllBlogTools.com Blogger Templates

Latest Posts

  • Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara
    Awalnya saya mencari-cari dimana Skotlandia? Dimana letak negara ini? Kalian tahu dimana? Beberapa tahun kemudian saya tahu dimana letak...
  • WhatsApp Initializing
    Pernah mengalami WhatsApp susah di-instal ulang? Notifnya “initializing” atau apalah ejaan Inggrisnya. Saya pernah mengalami kejadian i...
  • Pekerjaan Suami Saya Cuma Petani
    Kalo lagi kumpul-kumpul bareng teman lama, terutama karena udah pada berkeluarga, pasti ngomongin pekerjaan suami. Beberapa teman bisa ...

Visitors

free counters
Free counters
Copyright 2014 Journey of My Life.
Distributed By My Blogger Themes | Designed By OddThemes