Kakek Di Halte

H
ari pertama menjadi mahasiswa. Well, sangat antusias. Aku bangun subuh, mandi setengah jam, sarapan nasi goreng dan jam tujuh sudah sampai di kampus. Masih sepi. Hanya ada satpam dan beberapa OB kampus.
Hari berikutnya, karena aku sudah tahu jadwal kuliah, jam setengah delapan aku baru pergi. Setia dengan angkot 105 dan jalur yang sama menuju kampus membuatku hafal apa saja yang ada di kedua sisi jalan, termasuk bangunan-bangunannya. Dan di antara semua itu yang paling menarik perhatianku adalah kakek yang selalu ada di halte.
Itu halte kecil. Bukan halte bus. Karena memang tidak ada bus yang lewat jalur ini. Setiap jam tujuh sampai jam delapan, kakek selalu ada di sana. Entah dia mau kemana. Yang dibawanya selalu sama. Yang dipakainya selalu sama. Waktu kapan kakek itu ada di halte selalu sama.
Kakek selalu memakai jaket berbahan parasut warna hitam. Berkopiah hitam lusuh dan memakai masker berwarna hijau seperti yang biasa dipakai dokter. Memakai celana pantalon krem pudar.  Membawa payung hitam panjang dan tas tangan bepergian dua tali. Entah apa isinya. Kadang mengobrol dengan seseorang yang juga menunggu di halte. Yang kedua ini lebih sering membuatku senang. Uniknya, jika kakek sendiri di halte, dia melambaikan tangannya setiap ada angkot yang lewat. Ya, melambaikan tangannya seakan dia mengenal setiap supir angkot.
Saat melihatnya bercerita dengan orang lain yang juga menunggu di halte, aku menduga bahwa kakek adalah seorang pensiunan veteran. Dia akan sangat bersemangat saat menceritakan masa-masa perjuangan dulu. Pernah suatu ketika, setiap aku ke kampus, dengan trayek angkot yang sama, kakek tidak ada di halte untuk beberapa hari. Padahal aku selalu masuk pagi. Kecuali aku masuk siang, sudah dipastikan kakek tidak ada di haltenya. Beliau hanya ada saat pagi. Tapi itu hanya berlangsung beberapa hari saja. Hari berikutnya, aku menemukan kakek kembali di halte, di jam yang sama, dengan pakaian dan bawaan yang sama. Mungkin kemarin kakek tidak pergi kemana-mana.
Aku selalu bertanya-tanya, kemana kakek pergi setiap hari dengan bawaan yang seakan dia hendak menginap? Untuk apa? Apa kakek masih bekerja? Atau senang bepergian. Harusnya seusia kakek sudah pensiun, beristirahat di rumah.
Satu kejutan pun terjadi. Saat aku hendak pergi ke Bogor, aku melihatnya membeli tiket dan berjalan ke arah peron menuju Jakarta.
Mau kemana, Kek?
Aku pun mereka-reka kemana biasanya kakek pergi. Sudah di halte dari jam tujuh. Pergi dari stasiun Lenteng Agung jam sepuluh. Sayangnya aku tidak pernah menemukan kakek  saat sore atau malam di halte yang sama. Mungkin kakek pulang saat tengah malam. Atau begitu urusannya selesai, kakek tidak pernah duduk-duduk di halte seperti yang biasa dilakukannya saat pagi.
Sampai semester lima, aku tetap menemukan kakek di halte. Tentunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah terjawab. Satu semester lagi aku lulus dan dipastikan aku tidak akan melihat kakek lagi. Mungkin kakek tidak tahu bahwa dia mempunyai pengagum rahasia.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

I really thank you for looking and read my blog. Have a nice day! And always be a good person everyday

0 komentar:

Posting Komentar