Journey of My Life

seputar catatan yang katanya jurnal

  • Home
Home Archive for 2018
Sesuai jadwal yang diberikan, divisi transportasi dapet jadwal di tanggal buntut 30 dan 31 Juli. Aku pergi sekitar jam 10-an ke GOR Ciracas. Hari itu rencana ambil seragam dan buku tabungan. Sampai di sana udah banyak yang antri. Aku masuk ke antrian panjang. Belum tahu itu antrian apa. Setelah nanya, oh, buat ambil buku tabungan toh. Kenalan sama Monica yang dapet transport di media (nanti kami ketemu lagi di JCC). Sambil ngantri kami cerita-cerita. Oh, ya, aku dapet bagian di TJ-1 sebagai pendamping di dalam TJ untuk atlit yang mau pergi dari AV ke venue atau GBK dan sebaliknya (cerita jelasnya nanti, yah?). Antriannya cukup lama, tapi dibagiin bukunya cepet banget. TTD biasa di cover buktab-nya. Dapet ATM sekaligus tapcash gitu deh. Dapet tali kartu ada nama bank sama Asian Games 2018 gitu. Abis itu sama Monic ke atas buat ambil seragam. Karena foto Monic bermasalah, jadi kartu akreditasinya belum jadi. Jadi Monic cuma bisa ambil seragam.
Kami masuk, jalan ke meja penerimaan potokopi ktp, surat keterangan sehat dan surat pernyataan volunteer gitu. Tapi yang diambil cuma dua. Aku sama Monic pisah jalur. Aku ambil kartu yang disebut ad card, baru deh masuk ke bilik untuk ambil seragam menyusuri jalan yang udah dikasih pembatas macam antrian di bank. Serasa masuk ke labirin, ini mana ujungnya. Ada sekitar lima orang lebih yang duduk nunggu antrian. Kami masuk berlima, dipanggil mba-mba yang mungkin juga volunteer, tapi udah mulai tugas duluan. Kami dikasih waktu ngepasin kaos dan celananya. Kata mbanya, jangan ragu dan cepat pilih.
Enggak boleh dicoba, yah. Aku pilih ukuran M dan celananya S. Itu ukuran internasional katanya. Abis itu jalan ke jalur berikutnya. Ngantri lagi untuk masuk ke ruangan yang berjajar meja sama komputer dan laptop. Ada belasan meja yang melayani proses ambil seragam ini. Sepatu juga gak boleh dicoba. Aku pilih nomor 38. Katanya plih satu nomor di atas ukuran kita. Wow ini bawaannya banyak juga. Ada tiga buah kaos, dua celana panjang, tiga pasang kaos kaki, satu topi, tas punggung bertali satu, dan yang baru aku periksa di rumah, di dalam tas ada tempat pencil isinya pensil, pulpen bagus, rautan dan penghapus. Semuanya berlogo Asian Games 2018.
Prosesnya selesai sebelum Zhuhur. Aku pulang, deh. Yang ternyata anak TJ-1 mau kumpul sebentar. Hah... udah sampe rumah, Kak.

 

Note: foto dok. pribadi, kecuali topi dan kaos kaki ambil dari toko online prelovebyGC.

Hari itu hari senin, dua hari terakhir sebelum selesai tugas. Sepi dan bosen di Grandhika, aku ‘ngungsi’ ke Ambhara. Di sana lagi banyak media yang mau pada check out pulang ke negara asal. Aku duduk-duduk di meja helpdesk sambil liat aktifitas grup besar dan kecil. Temenku, Ratih, juga ikut duduk. Kami sebangku berdua. Nah, sambil aku nulis-nulis di jurnal, liat-liat catatan dewek, ada media Jepang yang rame kayaknya baru pulang belanja. Kira-kira ada empat laki-laki. Tiba-tiba, ada seorang media yang kata Ratih “kalo bisa dimualafin deh”, nyodorin seplastik isinya kerupuk mentah. Dari bentukannya sih kayak emping. Dia jelasin pake english sederhana sambil megang kantong plastik kerupuk yang udah ditaro di atas meja. Kita sih nerima-nerima aja. kata dia, kebanyakan beli. Gak muat and takut kelebihan muatan.
Nah, sempet sepi tuh. Empat orang tadi agak menjauh dari meja helpdesk. Aku udah penasaran aja sama isinya. Kata Ratih entar di unboxing. Ok, deh. Terus datangalah koper-koper besar mereka yang karena di lobi hotel gak ada sofa, jadi pada duduk-duduk di koper sambil nunggu check out atau taksi kali.
Ada satu orang media yang pake kacamata duduk di depanku, di meja helpdesk. Dia enggak sengaja liat dan nunjuk pembatas bukuku yang katanya “origami?”. Aku bilang “not really origami”. Eh, karena liat jurnalku, dia minta kertas. Aku ambil yang tengah, eh jadi dibuatin origami burung. Cepet banget. Itu salah satu jenis origami yang paling tidak aku kuasai. Udah jadi dikasih ke aku. Aku bilang terima kasih. Dan menariknya, potongan kertas yang gak kepake dia ambil, dibuang sendiri coba. Asli gak nyampah deh.
Ratih lagi ke kamar mandi. Nah, media Jepang yang tadi ngasih kerupuk mentah izin ngambil lagi kerupuknya. Temennya ada yang mau tuh. Ok, ok, gak papa. Ambil aja lagi. Kami saling senyum-senyum. Yah, cancel unboxing deh. Pas Ratih balik, aku cerita deh kalo udah diambil balik.
Nah, Ratih ini lulusan sastra Jepang Undip. Baru aja wisuda Agustus kemaren. Karena itu aku nanya dia kalo ada yang lagi ngobrol pake bahasa Jepang. Sebenarnya kami gak boleh ‘ngomongin’ tamu asing di depan mukanya. Tapi rasa penasaran lebih mengikat daripada aturan yang ada. Ratih terjemahin dikit deh apa yang mereka omongin. Yah, cuma cerita-cerita tadi belanja gimana.
Karena aku suka nyimpen apa aja, I’ll treasure the bird. Seneng sih dapet origami kayak gitu. Baek-baek yang dari Jepang. Kalo mau duduk depan helpdesk, izin coba. Kalo yang dari Korea atau Cina maen duduk aja. Orang kita juga kadang gitu. Tapi kayaknya aku terlalu mengeneralisasi. Enggak semuanya bersikap kayak gitu, kan? Pasti ada orang Korea dan Cina yang baik dan sopan.
Karena taksi udah dateng, mereka pergi deh sambil bilang “terima kasih” dan “sampai jumpa”.
Well, it’s just a note outside the story. Just my own note ‘bout today. It almost stress me out. I can’t found the correct answer, the correct number. Hey, salah rumus, or catatan yg salah or mang salah dari excelnya. Bener-bener deh nyari, bikin formula and I can’t find the correct answer till 1 pm. I’m alone here with all my stuff. The strange of the chamber. It’s really freak me out. What am I doing here? Like just cut my time, just waste my time till 5 pm. It’s really bad. Bad thing, bad all of thing. Strange and I just get rush. Is it strange? The odd version of me this last year. I don’t know about next year. What I’ll doing, what I’ll gonna do, what I’ll gonna take. I want set up my carrier, but everything seem just like a fatamorghana. Just like they far far away. Just like i can’t catch them. Hey, what am I thinking? It’s bad if all I think just negative, just increase my potential moment, just increase my good side, good moment, good opportunity. I like gonna go. Wanna go to other place. Don’t wanna meet anyone. Just me and all I think inside my head. Just clear all my loan, my stuff, my goods. Clear all thing, clear all my mess mind. Purity my self, purity my mind. I know what I type just incorrect grammar and sentence. I know it. What I type not correct. It’s not about grammar, good word or good sentence.
Well, I really don’t know what will I wanna type. Maybe this’s not important. Just my note. I reliaze for many things I can’t control. I try to escape for many things for years. Now, I’ll face them. I’m not brave at all. I always hide myself. I never show my own feeling. Maybe I’ve been pretending. I asked, where’s the real me? I never can detect my own self, my own feeling. It’s hard to tell because I don’t know how to show it.
I think for many things even that outside my touch, outside my world. It’s tired. And I realize that’s called over thinking. Too much to think. I’m confuse. I don’t know what should I do. I never go ahead and always keep my foot on the hole. Too much to worry.
My, my, it’s my bad. I’ve never can have proper conversation. I’ve no good skill when it come to speaking.
What should I do know? Everything seems dark. But I hope there’s the light behind the tunnel. I’m still regret for many things. Many things that I can’t count. What’s it? The strange feeling I can’t describe. I’m still immature, selfish, never help anyone, and can’t speak properly. I don’t hope for a miracle. Tell me what should I do.

Ini hari ketiga aku stand by di hotel sebagai volunteer tranportasi media. Salah satu tugasku membantu media yang akan naik shuttle ke MPC (Main Press Center) di JCC. Kemarin-kemarin selama shift 2, antara jam 11 sampai tujuh malam, tidak ada satu pun media yang akan naik shuttle—walau elf datang hampir setiap jam yang kadang sesuai jadwal, kadang tidak. Tapi hari ini, ada satu orang yang menunjuk kertas jadwal shuttle di atas meja helpdesk, lalu pergi tanpa bertanya atau menjelaskan (salahku juga tidak bertanya mau naik shuttle atau tidak). Temanku yang shift 1 pamit pulang. Sampai jam 4 sore, aku hanya akan sendiri sebelum temanku di shift 3 datang.
Ternyata pria yang tadi menunjuk jadwal kembali datang ke meja helpdesk. Aku bertanya “mau naik shuttle?” (Inggris-in sendiri, yah?). Ok, dia mau naik shuttle. Aku bilang nanti mobilnya datang jam 15:20.
Eng-ing-eng! Sama kayak jadwal shuttle pagi yang selalu hectic karena shuttle datang telat dan telat, aku juga mulai deg-degan dong karena shuttle belum juga dateng. Udah jalan dari markas di parkir timur (parkit) GBK, tapi macetnya itu loh yang arah Blok M. Jadilah aku ngechat di grup shift 2 hotel daerah Blok M.
Mataku sedikit melirik ke kanan sana, ke tempat duduk di lobi hotel. Tapi media yang tadi belum ada. Sedikit aku menyalahkan diri. Belum lama, sekitar sejam lalu, grup shift dua sempat heboh karena supir shuttle yang harusnya looping ke hotel 101 Darmawangsa malah balik ke MPC. Temanku yang di 101 kesal bukan main karena begitu supir ditelepon, dia malah kena marah supir. Supirnya bilang, kalo butuh shuttle, minta lagi aja (ke MPC). Lah, kata temenku yang kena marah, emang dikata Grab tinggal pesen. Padahal akan ada yang naik shuttle di 101. Secara tidak langsung, aku yang salah karena tidak tegas pada supir. Harusnya mau atau tidak, supir tetap harus mengikuti jadwal looping. Jadinya, media di 101 naik taksi ke MPC.  Dan kini, seakan hukuman yang tanpa ditunda, aku mengalami hal yang sama.
Aku kembali melirik dan ternyata media yang tadi sedang duduk sambil melihat ponselnya. Beberapa kali mataku berpindah antara layar hape, ke kiri keluar jendela melihat ke jalan di depan hotel, lalu ke kanan lagi, melihat si media yang akan naik. Karena sudah lewat beberapa menit dari jadwal, dia berdiri menghampiriku.
Aku bertanya apa dia buru-buru. Dia bilang, “it’s ok. Ok”. Yah, aku makin gak enak dong (awalnya sempet ngira bakalan dimarahin, bakalan kena omel kayak pengalaman beberapa temanku yang berhadapan langsung dengan orang asing dan mereka komplen karena shuttle yang telat).
Dari bentuk wajahnya, aku menduga kalau dia dari Jepang. Tidak terlalu tinggi untuk ukuran pria Asia Timur, dibanding beberapa media dan orang broadcast dari Korea atau China. Well, tanpa diduga, dia bersedia menunggu. Padahal aku nawarin naik taksi atau naik taksi online. Karena Grab sponsor Asian Games 2018, jadi nawarin Grab, deh.
Sejujurnya, aku kurang nyaman ngobrol. Bukan karena apa, tapi karena shuttle yang juga belum datang. Pikiranku terpecah tiga: ngobrol sama si Jepang, nunggu shuttle, melihat keluar jendela, mastiin shuttle udah sampe, sama ngeliat grup WA, nanya-nanya dimana posisi shuttle. Tapi, alhamdulillahnya, media Jepang ini sabar banget, malah memanfaatkan keadaan buat ngobrol, nanya-nanya. Yah, namanya juga jurnalis, jadi ada aja yang ditanya.
Aku enggak hapal dan ingat alur pembicaraan kami, tapi kurang lebih inilah yang kami bicarakan lebih dari 40 menitan.
Awalnya, pas dia jalan ke meja helpdesk, abis aku nanya buru-buru gak, dia nanya aku kerja di sini (meja helpdesk maksudnya). Terus bilang, enggak bisa liat venue dan match. Yah, udah tugasnya di sini. Aku berharap bisa liat closing, kemaren enggak liat opening. Dia juga berharap sama (bisa liat closing). (Bagian awal ini Insya Allah bener pembukanya, entar obrolan ke sana rada ngacak, yah). Dia nanya berapa lama aku kerja. Aku jawab 8 jam/hari. Lama juga, katanya. Dari kapan? Aku bilang dari tanggal 24 kemaren. Sampe kapan? Aku bilang sampe tanggal 5 September. Aku nanya balik dia dateng kapan? Ternyata baru Kamis kemaren. Sampe tanggal 4 katanya.
Dia nanya lagi aku kenal atlet Jepang gak. Enggak. Dia nanya aku suka olahraga. Aku sebutin badminton sama voli. Sedikit cerita kalo dulu pas kecil suka maen badminton sama Bapake. Tapi sekarang enggak, soalnya kami udah gak punya lapangan. Udah jadi rumah. Oke, dia paham tuh. Aku said sorry lagi karena shuttle juga belum dateng beralasan traffic. Dia bilang oke lagi. Duh, sabar banget, deh. Eh, ya, karena tadi dia nanya atlet Jepang, aku jadi bilang kalo kenal satu pesumo, tapi lupa namanya. Chiyo... apa gitu? Chiyonofuji apa. Aku bilang baca dari buku. Dia ngangguk-angguk. Dia bilang kalo olah raga Jepang lagi naik sekarang. Iyalah, orang masuk klasemen 2. Pertama tetep Cina. Aku juga bilang cuma kenal Lin Dan. Abisan tontonan wajib Bapake kalo ada pertandingan badminton. Dia ngasih tau kalau Jepang nanti jadi tuan rumah Olimpiade 2020. Ya, I know it.
Dia nanya aku masih kuliah. Udah lulus. Empat tahun lalu. Sempet gak mudeng tuh dia, tapi pas aku bilang four years ago, paham juga. Nanya jurusan apa. Duh gak paham civil engineering tuh. Nanya, civil apa? Aku ganti jadi construction. Nah, paham deh. Dia bilang math, aku ngira match = pertandingan. Oh, iya, matematika. Haha... enggak pinter kok. Karena dia gak bisa math sama fisika, ngira aku lumayan. Enggak kok. Dia bilang English aku bagus. Aku muji balik kalau dia lebih bagus. Nanya tuh dia kenapa bisa bagus. Bilang aja aku sekolah asrama yang wajibin siswanya ngomong English tiap hari selana 6 tahun. Haha... peres banget. Iya, sih bener infonya secara aturan, tapi kenyataannya selama sekolah penerapannya gak ada. Pas lulus Englishku juga cuma sebatas teori. Belom bisa speaking. Dia cerita dikit kalo pernah sekolah di Amerika 2 tahun. Pantesan. Aku bilang dong kalo listening-ku payah. Not good. Terutama kalo ada yang ngomong pake aksen, kayak India misalnya (pengalaman di awal-awal tugas). Dia setuju. Listening dia juga gak bagus (ngakunya gitu). Dia cuma bisa English Amerika. British, English Australia, udah lain lagi. Nah, di sini kami nyambung lagi. Sama. Kalo English British gimana gitu.
Ok, aku liat grup shift 2 lagi sama grup besar transport-MPC, termasuk liat keluar jendela kaca besar. Berharap shuttle cepet dateng. Ini udah jem 15:40. Aku makin gak enak sama dia. Segala aku bilang kalo pernah dikecewain, kita enggak akan percaya ‘dia’ lagi. (maksudnya kecewa karena jadwal shuttle enggak tepat waktu, mungkin lain kali dia akan naik taksi aja dan ditambah kecewa sama volunteer, sama negeri ini yang jadi tuan rumah ).
Dia ternyata liat buku jurnal volunteer aku yang penuh tulisan tangan. Terus dia bilang: kamu nulis. Ya, aku nulis. Hehe... Sempet diem bentar. Baru deh aku nanya nama dia. Dia sedikit ngasih unjuk adcard-nya (kartu akreditasi yang dipakai sebagai akses masuk ke setiap tempat Asian Games 2018). Oh, namanya Kaz. Biasa dipanggil Kaz. Aku bilang namaku Nissa. Tuh kan suka enggak mudeng deh sama namaku. Dikira Misa. Aku sampe menyebut namaku lagi, baru deh dia ngerti.
Dia nanya, banyak enggak orang Indonesia yang kuliah. Kalo menurut pendapatnya, sekitar 45% orang Jepang lanjut kuliah. Aku bilang aja gak terlalu tahu dan yakin, tapi secara umum pada lanjut kuliah atau ambil D3.
Terus dia nanya ojek. Bener-bener nyebut ojek. Tahu ojek toh Mr. Kaz. Aku bilang aja tiap hari make. Salah satu transportasi andalan. Dia bilang sambil meragain pake tangan kalo naek ojek bisa nyalip-nyalip. Betul! Cuma sayangnya, kata Kaz, drivernya enggak bisa English. Jadi ngasih duit ongkos tanpa berkata-kata, lalu pergi. Aku kasih tahu aja dikit kalo di sini kadang lebih suka kendaraan pribadi. Terus dia nanya tahun depan baru ada .... Sempet bingung tuh dia. Oh, MRT. Iya, tahun 2019, kataku.
Eh, baru aku suruh duduk. Saking pala lebih mikirin shuttle yang belom dateng. Padahal kalo shuttle aku enggak pikirin, banyak yang mau aku omongin juga. Sambil naro tasnya di atas lantai, terus duduk, Kaz bilang kalo tasnya berat. Dia bawa computer. Oh, notebook, kataku sambil duduk. Aku nanya, apa dia meliput semua pertandingan. Dia bilang enggak. Cuma beberapa aja. kalo semuanya, enggak akan sanggup. Aku ngasih info dikit puncaknya macet: Sabtu, Ahad, dan Senin pagi, Jumat juga. Kaz lupa coba kalo sekarang hari Minggu. Again aku bilang maaf (shuttle juga belom dateng). Terus aku nanya pendapat dia soal klasemen. Aduh, aku salah pake kata. Bukan klasemen, tapi classification. Karena dia enggak mudeng, aku ganti deh jadi nanya gimana pertandingan karate (karena dia akan meliputnya hari ini). Dia diem bentar. Maybe nyari kata yang tepat dan mudah dimengerti. Sambil pake gerakan, Kaz jelasin gimana proses berjalannya pertandingan. Sampai gimana pemain karatenya dapet nilai (dia meragain seakan megang papan poin). Aku bilang, oh juri ngasih nilai. Aku nanya dia bisa karate. Kaz bilang enggak.
Alhamdulillah, Dinda dateng, temenku di shift 3 yang tanpa diduga datang lebih awal beberapa menit (yang berarti ini udah mau jem 4 dong. Duh, makin gak enak aja udah nunggu lama). Dia langsung nyodorin tangan kenalan sama Kaz.
Kaz nanya Dinda tau atlet Jepang. Dia kembali bilang kalo atlet Jepang lagi naik daun. Dinda bilangnya tau, tapi pas ditanya nama, dia enggak apal. Dinda nanya gimana Jakarta. Tadi Kaz udah bilang, ini pertama kali dia ke Indonesia dan dia bilang gitu juga ke Dinda, ditambah jawaban kalo Jakarta enak. Sejuklah. Dia bilang kalo di Jepang lagi panas. Sampe 40 derajat. Aku kagetlah. Jadi, inget kalo di Korea juga sama panasnya. Makanya lebih betah di sini. Iyalah, di Jakarta Insya Allah enggak sepanas itu. Paling kering aja, anginnya panas, dan polusi yang tinggi (itu yang nambah panas di sini). Dinda nanya, terus apa yang dilakukan pemerintah sama cuaca yang panas? Kaz sempet enggak ngeh tuh. Sampe maju dikit deketin telingannya. Pas udah yakin maksudnya, dia bilang enggak ada. Yah, paling banyakin minum aja. Dinda nanya beda berapa jam di sini sama Jepang. Dua jam, kata Kaz. Dia terbang 6 jem dari Jepang tuh. Wow!
Karena ada Dinda, aku bisa lebih fokus nanya di grup posisi shuttle yang ternyata masih terjebak macet, entah di Bundaran Senayan, entah pas udah mau masuk Blok M. Karena enggak merhatiin. Aku denger Dinda bilang pernah ikut program ke Kamboja gitu (nanti aku cerita sedikit). Omnya juga ada yang di Kyoto. Kuliah beasiswa gitu bawa keluarganya. Kaz bilang Kyoto di kelilingi gunung.
Pembicaraan berlanjut. Kaz bilang kalo penduduk Jepang menurun (sambil tangannya meragain ke bawah). Pemerintah sedikit struggle sama dana pensiun karena manula yang banyak. Dia nanya gimana di sini. Dinda bilang anak muda di sini banyak. Kaz nanya keuntungannya. Dinda kurang lebih bilang jadi satu kekuatan di negeri ini, terutama angkatan kerjanya. Yah, untung di satu sisi, aku nambahin gitu. Kaz jadi nyimpulin, kalo usia produktif di Indonesia banyak? Bertumbuh kataku.
Terus Kaz ngasih kartu namanya dong. Satu-satu buatku dan Dinda. Pas aku liat, hem, chef editor. Dari nama korannya, kayaknya isinya bahasa Inggris semuanya, kayak JakartaPost gitu.
Dinda nanya, kenapa orang Jepang enggak mau punya anak, apa susah merawat anak. Nah, di sini Kaz enggak terlalu nangkep maksud Dinda. Dia ngira itu kalimat pernyataan, padahal pertanyaan. Dinda tadinya mau nanya persaingan, tapi dia lupa Englishnya. Terus nanya aku yang juga lupa—saking masih fokus sama shuttle.
Sempet beberapa saat kami diam. Aku nyeletuk bilang, ini pembicaraan yang menarik, nice talk gitu. Kaz setuju.
Aku gak paham deh apa shuttle yang udah dateng langsung stay di hotel lain atau gimana. Karena pas Dinda nelepon ke hotel sebelah, taunya shuttle udah sampe. Please, udah sampe dan aku enggak tau, enggak ada yang ngasih kabar di grup shift dua. Akhirnya setelah di telepon, shuttle menuju hotel tempatku bertugas. Aku bilang sama Kaz mau nunggu shuttle di depan. Eh, Kaz ikut diri coba, ngikutin aku jalan ke lobi.
Dateng deh tuh shuttle. Aku bukain pintu buat Kaz. Dia bilang sama kayak aku tadi, nice talk. Tapi dia salah nyebut namaku: Nina. Aku benerin, Nissa, Sir.
Dari sini aku kembali ke meja helpdesk. Rasanya lega. Pengen teriak. Setelah sabar nunggu, akhirnya Kaz naik shuttle. Semoga aja gak telat sampe di venue pertandingan. Biar liputannya tepat.
Aku bilang ke Dinda mau sholat. Aku naik ke lantai dua, ke musholla yang tersedia di hotel. Hah... rasanya abis sholat masih pengen teriak, tapi udah lebih tenang. Pengalaman hari ini isinya sangat banyak. Tanpa disangka aku ngobrol banyak sama Kaz. Itu juga dia sih yang inisiatif memulai topik. Kalau keadaannya lebih baik, aku pengen bilang aku suka Jepang. Pengen aku sekali ngomong arigatou atau nanya nama dia pake “onamae wa”. Pengen aku bilang “mata aimashou” atau sedikit bahasa Jepang yang aku hapal. Argghh, padahal banyak yang pengen aku tanya atau aku jadiin pembicaraan. Tapi... ya sudahlah. Sejem juga udah lumayan melatih lidah. Nanti lanjut lagi yah, tentang Kaz. See ya...


Waktu dan selesainya hampir sama kayak GT. Bertempat di TMII, gedung Sasana Krida apa, aku berangkat jem 6 kurang pake baju item-putih sesuai syarat di e-mail. Mengingat ini masih hari kerja, jadi siap-siap aja kalo telat, deh. Acara dimulai jem 7:30, tapi aku masih di jalan. Lagi nanya bapaknya kalo ke TMII naek apa. Bapaknya bilang entar di kolong. Udah, deh, percaya supir aja. Ini aku udah nanya-nanya sama Tetehku yang apal banget angkutan Jakarta. Aku juga udah prepare nyuruh dia sama adekku entar pesenin aku grab. Hape oh hape, ada cuma paket buat WA. Pak supir nyuruh naek 04 merah yang ngetem di deket kolong. Eh, taunya gak jauh. Cuma berapa detik udah sampe depan TMII. Bayar, deh 2000. Tapi kurang. Nambah serebu deh. Padahal deket banget itu. Bener-bener deket.
Nah, udah sampe gerbang, Insya Allah aku udah tau. Udah ada maps TMII di hape. Alhamdulillah, pas nanya satpam depan, pas banget ada bapak dari dishub yang juga mau ke dalem. Iya, ke tempat aku JST. Di gerbang, yang mau ikut JST dikasih karcis parkir atau yang jalan kaki dapet karcis formalitas, deh. Sama bapaknya dianter sampe tempat parkir sebelah gedungnya.
Eh, peserta lagi pada ngantri. Alhamdulillah, dimudahin. Masuk aja barisan mana kek yang enggak panjang. Enggak taunya itu barisan cluster 3—clusterku. Sampe meja registrasi, absen nama dan tanda tangan. Dikasih name tag. Tulis nama sendiri. Ini plastiknya lebih tebel dan talinya udah bagus. Ada nama dan logo Asian Games, deh.
Masuk ke dalam ruang seminar, nyari-nyari bangku yang kosong. Wah, ada tuh di kanan sana. Aku tadi masuk dari pintu kiri, sesuai posisi barisan antrian, tapi duduk di sisi kanan. Alhamdulillah, di barisan kanan sini emang tempat cluster 3. Serasa dimudahin banget, deh.
Acaranya cukup padat dan banyak. Walau isinya lebih ke kalimat yang tidak terlalu berhubungan dengan inti jobdesk volunteer transportasi. Sedikit aku jelasin. Acara kali ini udah acara paling khusus. Aku dapet divisi transportasi untuk wilayah cluster 3 atau suburban. Artinya kemungkinan besar tempat tugasku nanti di venue di luar Jakarta, kayak Banten, Bekasi, Bandung, atau paling jauh di Majalengka.
Pemaparan pertama dari HRV. Ini kayak HRD gitu kalo di perusahaan. Isinya tentang hak dan kewajiban volunteer. Tetek bengeknya dijelasin di sini. Lalu ada sambutan dari kepala deputi 3, atasannya divisiku, Pak Ahmed Solihin. Terus kepotong coffe break yang teh, kopi, dan kue-kuenya langsung ludes, deh. Jem 10 lanjut lagi. Potong Zhuhur dan makan siang. Jem 13:00 lanjut lagi sampe jem 4-an deh. Bagian intinya yang pemaparannya masih global banget baru ada mendekati Ashar. Padahal itu yang paling kami butuhkan.
Aku ternyata belum masuk grup WA cluster 3. Atas bantuan Irma yang dari Cirebon, dia minta adminnya masukin nomorku. Ternyata semua info penting disebar di situ, bukan lewat e-mail lagi. Hah... aku ketinggalan info banyak. Tapi alhamdulillah untuk hari ini banyak yang dibatalin. Kayak disuruh bawa print out kalo dapet undangan JST lah.
Abis itu baru, deh pembagian volunteer per venue. Sambil harap-harap cemas dapet venue dimana, satu-satu nama dipanggil. Tapi cuma dikit yang maju. Sisanya entah kemana. Sempet bingung. Taunya dapet di TransJakarta. Yang nyisa ini pada seneng. Tapi aku masih bingung.
Jadi nanti di TJ kerjaan kami jadi pendamping. Semacam kenek, tapi cakep aja. Oke, sampe sini aku cukup paham. Walau masih belom ada bayangan deh.
Abis sholat Ashar, balik, deh. Nanya Pak Polisi depan TMII yang atur lalu lintas. Oh, naek angkot merah 04 lagi, turun di terminal Kampung Rambutan, deh. Karena angkot merah ke Depok, T19, masih pada ngetem, jalan, deh, sampe mau ke Pasar Rebo sono. Eh, malah naek 112. Iya, sih ke Depok. Tapi ini lewat Kelapa Dua situ. Gara-gara ini jadi lewat GOR Ciracas, tempat nanti katanya ambil seragam volunteer. Sampe rumah udah lewat magrib, nih. Udah laper lagi. Padahal tadi bawa bekel loh yang dicampur dikit sama prasmanan makan siang yang udah kayak di hajatan. Enggak tau, deh berapa yang keluar untuk acara kali ini. Gedungnya aja mahal katanya.
Well, see ya.... Selanjutnya aku mau ngambil seragam volunteer yang alhamdulillah dimudahin banget. Wait, yah...


Setelah sempat diundur seminggu, akhirnya dilaknasakanlah general training di akhir bulan Mei, saat Ramadhan. Tempatnya di UMJ Ciputat. Kali ini alhamdulillah dikabarin lewat SMS dan e-mail juga. Kali ini disuruh bawa sertifikat NOR.
Karena di UMJ, aku udah cukup hapal karena pernah beberapa kali masuk ke kampusnya. Dibanding psikotes dan NOR, kali ini aku pergi sekitar jem enam. Acara dimulai jem 8, sih. Estimasi waktu di jalan sekitar sejeman. Oke, abis saur, abis subuh, prepare buat pergi. Naek grab sampe Kukusan situ. Lanjut naek angkot merah, turun di Pondok Labu. Lanjut angkot putih, turun pas depan gapura UMJ.
Udah rame tuh. Waduh, aku rada pangling sama jalan masuk UMJ. Udah lewat pager berpalang. Lagi itu mah bisa jalan yang sebelahnya. Tapi sekarang udah mau jadi bangunan baru. Nah, tempat aku GT nanti kayaknya gedung baru. Serasa udah kayak kampus dewek. Bukan, sih. Terakhir aku ke sana sekitar tahun 2014/2015, jadi wajar kalo udah banyak gedung tambahan.
Aku nanya sama satpam di dalam gedung gak tau apa. Dikira itu gedung development center, taunya sebelahnya. Oh, iya ada tulisannya. Anehnya, mas-mas yang duduk di sebelah satpam tadi malah nanya balik ke temennya, “emang ada gedung development center?”. Aish, capek, deh.
Oke, ketemu ruangannya, 101. Udah tuh maen masuk aja. Sama yang jaga ruangannya, setelah aku nanya boleh masuk, diminta keluar dulu. Nanti kalo udah mulai baru masuk.
Tapi, tiga puluh menit sebelum acara, udah ada yang duduk. Udah boleh masuk. Oke, tinggal nunggu acara inti. Seperti biasa, ada absen, dapet goodybad yang isinya tool kit untuk general training. Disuruh pake pinnya dan nametag yang dikalungin setelah ditulis nama kita di kertasnya.
Bagian pertama diisi Bapak Aditya yang asyik banget bawanya. Intinya tentang berpenampilan, tentang grooming nanti, tentang hospitality. Cara buka pintu, cara diri, cara terima kartu nama, cara senyum, cara diri 'terbuka, dan cara-cara lain macam staf hotel. Seru, deh. Ada aja yang lucu.
Bagian kedua oleh Bapak Arif. Isinya segala pariwisata dan attraction yang ada di Jakarta, budayanya juga. Ini agak sedikit bosenin. Tapi aku cukup menikmatinya. Setelah itu dipotong istirahat dan sholat. Buat yang enggak puasa, dapet makan siang tuh.
Jem 1 udah masuk lagi. Karena ujan, tapi emang dari tadi langit udah mendung, sih, aku rada telat masuk sesi ini. Mana udah setengah basah kuyup walau pake payung. Tadi dari masjid aku berdua sama peserta dari ruangan di atas tempatku. Kami berdua basah karena ujannya ke bawa angin, sedikit turun dengan posisi miring. Wajarlah pake payung percuma.
Sesi ketiga ini, Ibu Yuliana yang menyebut dirinya sendiri dengan “Mom”. Asik, nyuruh peserta maju untuk simulasi, atau meragain apa gitu. Isinya tentang komunikasi, deh. Lumayan lama sampe jem 3, deh. Abis itu Ashar. Balik lagi ke masjid yang berasa jauh. Jalanan agak becek bekas ujan tadi. Karena ada pembangunan, tanah yang kena ujan makin bikin jalanan kotor.
Abis Ashar, aku balik ke ruangan yang ternyata posisinya udah berubah. Ini sesi terakhir tentang interpersonal skill. Ibunya juga asik. Setelah perkenalan, kayak tiga pembicara sebelumnya, Ibu Enah mulai dengan bola plastik berduri tumpul yang dilempar. Yang dapet diminta cerita tentang dirinya. Bagian kali ini malah enggak bahas inti dari isi print out yang dikasih. Ibunya lebih ke bagaimana dunia luar sekarang, disruption yang lagi hebohnya, dan tentang hidup ke depan nanti. Setelah hanya tiga orang yang dapet bola plastik, sesi kali ini berakhir. Kami foto-foto. Bu Enah berpesan untuk bikin grup WA.
Dikira udah bisa balik. Taunya nunggu sertifikat yang belom juga jadi. Kata Kakak yang jaga ruangan kami, lagi sibuk banget di sekretariatnya. Aish... udah mana rumah jauh. Susah angkot. Malem udah gak ada angkot tuh. Jadilah nunggu sampe Isya. Ada snack sama nasi box.
Sambil nunggu sertifikat, aku ngecas di luar ruangan. Jaga-jaga tas. Lewat Isya, aku nyerah nunggu. Balik, deh. Pamit sama yang aku kenal. Naek angkot putih. Enggak lama ada ibu-ibu naek. Pas tiga penumpang cowok turun, ibunya nyuruh aku duduk di belakang sopir atau deket pintu. Jangan dipojok. Katanya pernah ada kejadian cewek diganggu. Sampe dijedotin palanya ke kaca mobil. Ibu ini cerita, beliau turun dan manggil polisi yang kebetulan lagi atur lalu lintas. Serem, deh. Pokoknya kata ibunya ati-ati. Ibu ini turun di depan gereja dan aku say thanks.
Turun di pasar Pondok Labu, angkot merah ke Depok udah gak jalan. Ada yang ngetem, tapi enggak, deh. Aku pesen ojek online aja sampe rumah. Pas banget ini ongkos.
Sampe rumah udah mo jem 9 kali. Lebih malah. Alhamdulillah selesai sudah hari ini. Enggak dapet tarawih, deh. Besok udah bangun saur lagi.
Hari berikutnya, aku mikirin sertifikat ini gimana. Setelah mikir-mikir, aku pergi juga ke Ciputat lagi. Pamit sama Ibuku yang lagi tidur sambil minta duit ongkos. Tapi karena sewanya sepi, ini angkot putih ngetem lama banget deket pangkalan ojek pengkolan yang di tipi itu tuh. Ah, sempet kesel pengen turun aja, tapi nunggu juga. Ini waktu abis cuma buat ini doang. Sambil nunggu, eh ad atelepon masuk. Taunya Kak Everlyn yang kemarin seruangan sama aku. Dia ngasih tau kalo sertifikat udah ada. Aku bilang aja lagi di jalan mau ambil. Padahal bisa pake paket aja. Lebih irit ongkos dan waktu. Hah...
Sampe di UMJ udah jem 5. Sholat Ashar dulu. Ke gedung buat ambil serti. Udah selesai, balik deh. Serasa de javu, kali ini aku pesen ojek online lagi. Tadi macet, jadi buka di jalan. Ninggalin biskuit buat Bapak sopir yang bae. Ongkos udah abis, jadi bayarnya ntar pas turun di rumah aja. Sampe rumah udah lewat taraweh lagi, deh. Hah... demi sertifikat.


I’m not a good mom. I’m arrogant, but I’ll in love with you even we don't meet yet. I’m not good at rise the kids, but I’ll do my best to take care of you. I’ll welcome you all my heart and life. I’m not a good daugther if you wanna know. I always figth with your grandparents. We’re always at opposite side. I ever hate both of them. I ever don’t talk to them for years, although we live at same place. But I hope I can be your save place.
I’ll look at you. I’ll listen you. Maybe you’ll disappointed on me one day. Forgive me I can be a perfect mom. But I hope we can have proper conversation. Please just tell me all your fear. I’ll help you solve your problem. Maybe it’s not a good sugestion, but it’s worth to try. If I’m broke your heart, please just tell me. We can talk and find a way for you and me. Maybe I can’t give all you want, but I’ll try give the best things for you.
My life after twenty isn’t good. I hope you never do same mistake like your mom. If you did it, please always come to me. You’re never alone. Every one make a mistake. If you’re regret what you’ve done, just tell me. Your mom knows how it feel. I’ll embrace you till you feel calm. When it comes to reading, I’ll read many stories for you.
Your mom lack of speaking skill and communication skill. Even she can’t talk properly to others. She can’t deliver her own idea inside her head. Her attitude is bad, pretty bad. She can’t give good smile. She lack listening skill. She lack of confidence, lack of self-esteem, lack of self-awarness, lack of self-conscious, lack of self-control. She can’t manage her time. But she never stop trying and learning good things. She never stop improve herself. Maybe, I don’t hope you’ll proud of me.
Maybe your dad isn't a good man in the world, but he’ll give you all he can get. He’ll always beside you when you need him. Maybe he’ll angry if you disobey him, but he’ll always love you. He maybe can’t do all things you want. But he did what you never asked. Maybe he can’t have a good talk with you. But you must know, he’ll always curious if you tell him how your day. Maybe he can’t see the dissimilarity between two things. But he’ll always know how make you laugh.
Remember, you’re not our own. But we love you as our precious gift. One day if you go from our side, don’t worry about us. We’re glad have you. We’re glad you’re our kids. Please don’t ever hate us. Please don’t ever hesitate to talk about yours, about your unnecessary things.
We’re here always love you, future kids.


Ayo, tebak apa judul tulisan kali ini?
Setelah dinyatakan lulus, aku dapet e-mail undangan NOR atau nilai-nilai olah raga. Tempatnya masih di LPPI. Alhamdulillah, udah tau rutenya.
Sedikit selipan, seminggu setelah ikut tes psikotes dan wawancara, aku baru dapet e-mail untuk dua seleksi tadi. Dalam hati cuma bisa bilang, “Udah dites, Pak/Bu”. Dan di e-mail diminta pake baju hitam-putih. Oow... itu toh sebabnya. Jadi, cuma aku yang pake baju bebas lagi itu?
Karena judulnya gitu, aku mikir masa sih bakalan dites olahraganya. Ternyata isinya sejenis perkenalan tentang sejarah olimpiade dan Asian Games, termasuk cerita proses bagaimana negara tercinta kita terpilih sebagai tuan rumah.
Sebelum masuk ke ruangan, kami isi form daftar hadir yang ada tiga lembar. Terus masuk ruangan dan ambil pouch item isinya pulpen sama note. Sambil nunggu acara mulai, disuruh nanya temennya sama Bapak pemandu acara. Oh, isi absen online toh. Yah, hape butut, jadi aku pinjem hape temen sebelah, deh. Eh, ya, ada sedikit kejadian yang aku bingung sendiri. Ternyata di depan gedung ada papan pengumuman yang isinya nama dan lokasi ruangan tempat NOR yang taunya udah direvisi, enggak sesuai sama isi undangan via e-mail. Aku permisi dong keluar untuk liat—karena temen di sebelahku juga pindahan dari ruangan lain. Taunya aku pindah ke ruangan lain, bukan di 108. Pas mau pamit ambil tas, sama bapak pemandu diminta gak usah pindah karena waktu udah mepet. Tuh, kan? Siapa pula yang bikin revisi dadakan gitu?
Oke, acara pun dimulai. Pengisi acaranya ada dua: Kak Tara dan Bu Rani. Sebagian besar slide yang dibahas disampaikan Kak Tara yang berkecimpung di dunia olahraga dan keliling dunia karena olah raga. Tapi Bu Rani juga enggak kalah seru. Nenek gaul yang bawa acara makin santai. Cara beliau menyampaikan juga lebih sederhana, tidak terpaku pada slide. Asyik, deh. Bu Rani juga ngasih beberapa cerita saat beliau ke Cina, misalnya, dan bagaimana sikap volunteer di sana. Beliau juga ngasih tips and trik nanti sebagai volunteer harus bagaimana.
Kali ini kami dapet snack dan sertifikat yang bagus banget. Thanks to Bapak yang udah jadi pemandu acara.
Waktu acaranya dari jam dua-an sampe selesai. Dikira bakalan sore banget, tapi setengah lima udah kelar, deh.
Ngomong-ngomong, aku bener-bener gak bisa bedain mana stasiun Pasar Minggu dan Pasar Minggu baru. Karena aku enggak pake multi trip adekku, enggak kayak kemaren pergi psikotes, aku beli tiket pp THB yang tujuannya ke Pasar Minggu Baru. Mana pas mesen grab salah teken. Dan baru ngeh pas udah sampe Pasar Minggu. Jadilah aku jalan mencari stasiun Pasar Minggu Baru. Intinya aku sampe aja pas banget magrib. Eh, sambil nunggu kereta, ada anak Bogor yang baru pulang NOR juga. Tau karena sama-sama bawa map sertifikat. Oh, baru lulus SMA toh. Daftar sama temennya, tapi malah dia yang dapet. Temennya enggak. Ok, sampe rumah udah lewat magrib. Isya deh udah aman di rumah.

Pernah pada suatu masa aku begitu antusias dengan dunia luar, dengan setiap hal yang ada di luar lingkunganku. Setiap ada kesempatan untuk pergi jalan-jalan, aku selalu tidak sabar. Tempat baru, orang-orang baru, dan pengalaman baru—walau aku sudah ke tempat yang sama berkali-kali misalnya—dan aku begitu percaya diri.
Lalu datang satu masa dimana semua yang ada di luar sana hanya membuatku terpuruk. Tidak ada tempat bersahabat di luar sana. Tidak ada yang ingin aku lihat. Aku tidak mau kemana-mana. Sudah tidak ada yang menarik bagiku hanya karena apa yang terjadi pada hidupku—kegagalan yang sangat membuatku terpukul dan melabeli diri pernah mengecewakan orang lain.
Kupikir dengan berdiam diri di rumah segalanya akan selesai atau setidaknya beban seseorang akan berkurang. Nyatanya, itu hanya membuatku semakin kehilangan banyak hal. Kemampuan berkomunikasiku menurun, aku takut bertemu orang hanya karena anggapan mereka semua pasti berpikiran buruk tentangku—pengaruh lingkunganku yang merugikan—aku mulai berpikir rendah diri, dan yang sangat kusadari, betapa tidak berkembangnya diri ini.
Dua tahun lebih aku hampir tidak pergi kemana-mana. Berkutat dengan kasur, kamar, dapur (untuk mencari makan), dan laptop. Aku hanya melihat dunia dari layar hape atau TV. Informasi yang kudapat hanya dari dua benda tadi. Aku jarang bicara, hanya tetap mengetik jurnal dan menulis beberapa hal. Tidak ada teman yang benar-benar kuhubungi. Aku seakan jauh dari peradaban.
Datanglah kenangan dan ingatan bagaimana aku dulu tidak takut keluar rumah. Bahkan kalau tersasar, masih bisa bertanya pada orang lain. Aku seakan lupa bagaimana dan kenapa dulu aku begitu antusias setiap keluar rumah. Aku lupa kalau keluar rumah begitu menyenangkan. Aku iri dengan diriku yang dulu, yang berjalan tanpa beban—aku bahkan tidak tahu ini bebanku atau orang lain yang meletakkannya di pundakku. Aku pun mencoba untuk keluar.
Apa aku harus terus di rumah hanya karena dunia saat ini sudah sangat buruk? Panas, polusi, orang-orang yang saling berjalan cepat memakai masker tanpa mempedulikan sekitarnya, dan kendaraan yang bergerak cepat tidak peduli pengguna jalan lain.
Aku tidak ingin menjadi katak di dalam sumur. Urusan tidak akan selesai hanya dengan diam. Jadi, izinkanlah aku untuk keluar, untuk melihat bagaimana matahari bersinar setiap pagi. Bolehkah?
Seperti anak kecil yang baru diajak pergi orang tuanya, aku begitu deg-degan pergi berjalan sendiri menyusuri pusat perbelanjaan. Aku benar-benar belajar dari awal. Setelah berani berjalan sendiri di pusat keramaian, barulah aku mencoba membeli sesuatu di dalam ITC. Mencoba bertanya pada penjaga toko berapa harganya—aku belum berani menawar.
Butuh waktu untuk memecut diri sendiri. Pada satu titik aku pernah hampir kembali tidak mau keluar rumah, tapi aku juga tidak mau kembali ke belakang. Aku berusaha lagi untuk membiasakan diri ke pusat perbelanjaan. Bahkan tanpa membawa uang, hanya ongkos. Aku hanya sedang melatih diri bahwa dunia luar tidak seburuk yang orang lain katakan dan diserap begitu saja oleh kepalaku.
Setahun berlalu, aku mulai berani, walau masih takut dan dag-dig-dug, terutama jika bertemu hal yang baru bagiku. Aku belajar naik kereta dengan kartu tap. Aku belajar naik ojek online. Aku belajar untuk lebih percaya diri dengan apapun yang aku kenakan. Aku belajar banyak hal. Aku berusaha berkomunikasi dengan baik. Bahkan terkadang berpura-pura tidak tahu arah dan bertanya pada satpam hanya untuk melatih diri.

Jangan samakan dengan Spongebob. Aku sengaja membuat judulnya seperti itu karena secara fisik spons menyerap apapun. Sama seperti isi kepala ini. (Kalau dibandingkan dengan Spongebob yang sangat percaya diri dengan hidupnya dan selalu bersemangat, diriku mungkin kebalikannya). Semakin ke sini, semakin bertambah umur, entah kenapa semakin banyak yang diserap tanpa disaring. Dikit-dikit dipikirin, dikit-dikit diambil ati.
Waktu masih kecil sampai lulus SMA, bahkan sampai lulus kuliah, tidak begitu banyak yang aku pikirkan dan dipertimbangkan begitu dalam. Kalau sudah ingin sesuatu, ya, aku lakukan. Tapi sekarang begitu banyak yang aku pertimbangkan. Entar gimana kata orang tuaku, kata orang lain, apa pendapat orang lain kalau aku begini, apa yang akan mereka pikirkan tentang diriku kalau aku begitu. Semua pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, membuatku diam hanya karena “apa kata orang lain”. Aku terjebak dengan pikiran yang berlebihan yang akhirnya membuatku takut untuk melakukan banyak hal. Takut untuk mengejar apa yang aku mau.
Pikiran berlebih ini ibarat api yang pelan-pelan melahap kayu. Siapa yang rugi? Diriku sendiri. Setelah sempat terpuruk karena terlalu banyak mengambil dan mendengar apa kata orang lain, aku berusaha keluar dari belenggu yang sangat kuat mengikat. Sekali waktu aku berusaha keluar, sekali waktu aku kembali tertarik. Mereka yang ada di sekitar seakan lebih kuat, lebih benar tentang bagaimana hidup ini—hidupku terutama. Aku tidak bilang kalau apa yang kulakukann—untuk keluar—adalah hal yang benar, tapi juga tidak berarti salah. Aku hanya berusaha melepas apa yang negatif, yang buruk untuk diri ini dan kembali melihat dunia dengan lebih baik. Aku ingin kembali tersenyum, kembali melihat orang lain dengan prasangka baik, kembali berjalan keluar rumah dan meyakinkan diri bahwa tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Aku hanya ingin berpikiran baik dan berprasangka baik. Salahkah? Aku hanya ingin meringankan pikiranku. Berusaha memikirkan hal yang baik-baik, mengurangi prasangka terhadap orang lain, dan tidak peduli seberapa buruk dunia ini, selalu ada orang baik di antara mereka.

Malam itu enggak bisa tidur. Iseng ikut nonton closing SEA GAMES 2017. Pas liat video tentang volunteer yang dipuji-puji menteri olahraga Malaysia yang sedang memberikan prakata, aku jadi sedikit terinspirasi. Ada, yah, volunteer untuk acara gituan? Baru tau, seumur-umur baru tau ini.
Tahun berikutnya, gak sengaja adekku ngajak ikutan daftar jadi volunteer Asian Games 2018. Wah, aku baru tau infonya. Dia dapet dari temennya yang pernah ikut invitation tournament Asian Games 2018 (ITAG). Oke, aku prepare untuk perndaftaran.
Pertama, SKCK. Bikin dah tuh bareng adekku. Karena alamat kami sama, bapak polisinya ngira sodara. Iya, Pak, adek-kakak. Itu hari kedua dateng ke Polsek. Sebelumnya dateng, tapi udah keburu tutup. Taunya cuma buka sampe jem satu.
Nunggu pengumuman lumayan ada sebulanan lebih, deh. Udah pasrah aja. Enggak ngarep banyak. Mengingat kalo di bagian form pengalaman organisasi sama pernah jadi panitia apa, hem, cuma ada satu-satunya. Berhubung aku udah jauh dari kata freshgraduate, jadi isi sama satu organisasi yang lumayan masih aku ikutin sekarang.
Adekku dapet info dari temennya kalo tes psikotes udah mulai. Lah, ini infonya aja aku belom dapet. Dia insiatif buka web volunteer dong. Donwload-lah PDF yang isinya nama-nama yang udah lolos seleksi berkas. Ada tuh nama aku sama adekku. Kami sama-sama dapet tempat tes di LPPI, tapi harinya beda. Aku Sabtu, dia Ahad.
Sambil dagdigdug, aku pergi Sabtu jem 10-an. Segala bawa bekel sama kue bolu—yang kemakan cuma kue bolu. Tes mulai jem setengah satu. Rada telat, tapi belom mulai. Intinya mah ketemu aja tuh LPPI setelah jalan kaki dari pertigaan jalan Ampera situ ke Kemang. Cuma aku rada bingung kenapa yang dateng pada pake baju item-putih udah kayak mau ngelamar kerja. Aku udah makin pasrah aja kalo diusir karena enggak ngikutin aturan, deh. Sambil duduk depan kelas nunggu masuk, ada yang lagi berbincang di sebelahku. Tiga orang, deh. Dia ngasih tau kalo baru dapet info ini semalam lewat SMS. Aku dalam hati ngomong, “Lah, aku aja gak dapet e-mail sama SMS”. Tau juga dari web-nya.
Tes pertama: psikotes. Mirip kayak mau tes PTN gitu, yang pake gambar-gambar, pola-pola dan simbol-simbol. Dilanjut sama ngisi ratusan pertanyaan tentang karakter pribadi. Sesi berikutnya, wawancara. Aku Ashar dulu. Udah pasrah juga, sih, kalo pas dipanggil orangnya lagi enggak ada, lagi sholat. Eh, taunya pas aku balik ke ruangan, baru deh namaku dipanggil. Kayaknya ngurut sesuai posisi duduk psikotes tadi. Alhamdulillah, aku duduk di baris kedua.
Wawancaranya dimulai dengan perkenalan pake bahasa Inggris sama motivasinya apa. Lanjut diskusi tentang “pemimpin” tuh harus yang kayak gimana sih. Kami ada sekitar 6-7 orang, satu laki sendiri yang perkenalannya beda sendiri: pake bahasa kita.
Udah tuh selesai sekitar jem setengah lima deh. Giliran nyari jalan pulang nih. Sedikit aku cerita, hapeku belakangan ini gak bisa pesen ojek online. Entah karena hapenya udah lama, entah karena hapenya gak kuat nangkep sinyal, entah karena sinyal provider yang aku pake jelek, entah karena apa, pokoknya gak bisa buka aplikasi. Kalo pun bisa, itu udah lola banget, pake sangat.
Aku nanya-nanya sama satpam di situ kalo mau ke Pasar Minggu naek apa. Tadi aku dari stasiun naek angkot merah sampe pertigaan Ampera situ. Kata Bapaknya, ada busway, tapi nanti turun di Ampera. Dari situ naek angkot yang merah tadi. Ada sih mikrolet, tapi udah jarang banget. Eh, sambil nanya-nanya sama bapaknya, taunya grab bisa dibuka. Udah, deh, cancel naek TJ yang selewatan mata memandang bentar lagi sampe di LPPI. Alhamdulillah, naek grab deh sampe Pasar Minggu. Tapi drivernya nurunin depan Ramayana situ, enggak depan stasiun. Oke, deh, pulang. Sampe rumah magrib. Dari stadebar naek grab lagi. Walau rada lola appsnya, yang penting bisa mesen.
Selesai sudah tahapan untuk hari ini yang aku enggak tau gimana hasilnya. Mau dapet atau enggak, udah enggak kepikiran, deh. Nanti lanjut lagi sama tahapan berikutnya. See ya...

Entah kapan hal ini terbersit. Alasannya sederhana. Hanya karena sangat jarang masjid yang punya perpustakaan. Padahal kita tahu kalau segala ilmu ada di buku, bahwa agama ini sangat menjunjung mereka yang berilmu. Sangat disayangkan kalau karya-karya ulama besar tidak pernah dilihat umat Islam yang sama sekali tidak kuliah. Sangat disayangkan kalau karya-karya bersar mereka hanya dibaca segelintir orang.
1.000 perpustaakan masjid? Siapa yang pernah berpikir begitu? Siapa yang peduli pada buku dan perpustakaan? Apakah Anda?
1.000 mungkin jumlah yang sangat sedikit dibanding jumlah masjid di Indonesia. Tapi diawali 1.000 masjid, Insya Allah akan berkembang berlipat-lipat.
Bismillahirrohmanirrohin sebagai permulaannya dan kita mulai bersama membuat perpustakaan di masjid-masjid.
Mendengar ceritanya, seketika aku terdiam tidak tahu harus bagaimana merespon. Aku tidak bisa menghentikan tangisannya, tapi aku mengerti apa yang dirasakannya.
Hari itu hari kamis. Temanku baru pulang ngisi private. Hatinya sedang dalam suasana yang baik. Dia sudah sholat maghrib, jadi pikirnya, tidak perlu jalan buru-buru.
Dia turun di jalan biasa menuju rumahnya, sekitar satu kilometer lebih. Dia tidak naik ojek. Dia terbiasa jalan dari rumah ke jalan raya tempat angkot lewat. Jalan itu sudah disusurinya hampir delapan tahun. Tapi maghrib itu, jalan yang sangat sudah akrab dengannya menjadi tempat paling menakutkan yang sangat membekas di hati dan pikirannya.
Dia saat itu sedang berjalan pelan lewat di jalan yang memang tidak pernah ada lampu penerang jalan dan selalu sepi. Hanya ada satu rumah yang menghadap ke jalan. Tapi tidak sampai dua puluh langkah, rumah-rumah penduduk sudah berjejer.
Kedua tangannya memegang payung, persiapan sebelum hujan turun karena langit sudah mendung sebelum maghrib. Dia merasakan motor berhenti di belakangnya. Yang dipikirkannya, kalau itu mungkin saudara yang kebetulan juga lewat situ dan akan menawarkan tumpangan, karena itu sering terjadi. Tapi dia mulai merasakan hal aneh. Ada tangan yang mendekat di belakangnya dan semakin dekat ke belakang tubuhnya. Dengan pelan meremas bagian belakang tubuhnya.
Dia yang diam dan tersentak hanya melihat motor si pelaku yang berhelm menjauh di depannya. Tangan kirinya dibiarkan menggantung sambil membawa motor pelan. Terlihat jelas lampu merah motor yang menandakan kalau si pelaku melambatkan lajunya.
Sambil jalan, sampai di rumah, dia masih diam sambil memegang payung dengan kedua tangannya. Masih tidak percaya apa yang terjadi dalam beberapa detik. Masih tidak percaya di jalan yang tidak sepi, hal itu terjadi. Di tengah jalan dia menangis. Perasaannya berubah buruk. Pikirannya mulai tidak jelas dan terus bertanya, "kenapa?" Di rumah, dia menangis. Malam, dia menangis. Bangun di pagi berikutnya, dia menangis.
Aku yang mendengarnya juga tidak percaya. Dia bertanya, apa pakaiannya terlalu menarik perhatian. Tidak, menurutku. Pakaian lebih tertutup dariku. Kerudung juga. Dia berpakaian dengan baik sesuai aturan Islam. Tapi dia masih bertanya dan masih tidak mengerti. Masih terlihat kalau dia takut dan menyalahkan diri sendiri.
Karena kejadian itu, dia tidak turun angkot di jalan sebelumnya. Dia mengambil rute lain. Dia mulai waspada setiap ada suara motor yang berubah pelan. Dia juga tidak berharap akan bertemu saudara yang akan memberikan tumpangan seperti sebelumnya yang sering terjadi. Dia akan kembali berjalan cepat. Dia akan lebih mawas diri. Dia akan membatasi kapan pulang. Benar-benar harus sudah di rumah sebelum gelap.
Aku masih memerhatikannya yang bercucuran air mata. Tapi aku tahu, dia berpikiran positif dan sangat sabar dengan banyak hal.

Malem itu, bareng ade, aku nonton Super TV. Episode kali itu tentang “tinggal bareng”. Aku enggak perlu nulis pembukaannya, yah? Intinya, Leeteuk sama Heechul tinggal sekamar bareng untuk dua hari.
Baru juga beberapa jam bareng, Heechul ngajak Leeteuk dateng ke klinik konseling. Awalnya biasa aja, soalnya Heechul duluan yang masuk ruangan konseling. Pas giliran Leeteuk, aku terdiam. Seakan menemukan teman yang sama keadaannya, rasanya aku ingin menangis. Apa yang selama ini aku simpan seakan dibantu dikeluarkan Leeteuk. Ingin aku berkata, "Itu, itu yang aku rasakan, yang ingin aku ungkapkan". Itu ... yang selama ini aku tidak mengerti bagaimana cara mengatasinya.
Jika diminta menggambar seperti yang diminta ahli konseling di situ, aku akan menggambar hujan yang deras. Jika Leeteuk tanpa payung, aku akan menggambar payung.
Sebenarnya, Leeteuk tidak banyak bicara dan mengungkapkan perasaannya, tapi itu sudah cukup untuk membuatku 'I know what you feel'. Dari situ, aku kembali tersenyum.
Sama seperti Leeteuk, aku tahu di luar sana banyak orang yang bergelut dengan masalahnya. Entah itu besar, entah itu seakan tidak ada habisnya, atau seperti sangat susah untuk selesai. Tapi selalu ada satu saat yang membuatku sampai pada satu titik, titik yang membuatku ingin berhenti.
Seperti Leeteuk, aku juga tidak tahu mana dari diriku yang asli. Ak terus, terus, dan terus menunjukkan kalau aku tidak punya masalah penting. Aku berusaha menutupi banyak hal dan mengatasinya sendiri.
Seperti Leeteuk, aku menahannya sendiri. Aku bukan leader seperti dia, tapi di satu waktu aku harus menunjukkannya, tapi di satu waktu aku berada di posisi itu. Tidak boleh mengeluh, harus jadi panutan, tidak boleh terlihat lemah, harus bisa membimbing, dan berkelakuan sesuai usia dan keadaan. Aku berusaha menempatkan posisi dengan baik. Dan semuanya terus berulang sampai aku tidak tahu kapan.
Dari Leeteuk, aku belajar banyak, terutama untuk terus mengontrol diri seperti yang orang lain harapkan.


Enggak ada kriteria khusus untuk benda yang satu ini. Yang penting rambut gak kusut, rapi, dan pas nyisir terasa lembut. Sempat beberapa kali membeli sisir merek tertentu yang harganya lumayan, sekitar 30.000-an. Tapi selalu enggak pernah awet. Bukan karena patah, tapi selalu karena ujung sikatnya yang botak.
Dua kali aku beli sisir yang sikatnya kayak korek api. Lagi-lagi ujung pentulannya ini copot setelah dipake beberapa bulan. Lama-lama menyisir jadi kegiatan yang menyakitkan. Udah rambut rontok, eh kulit kepala serasa digores.
Mulai deh aku nyari sisir yang sikatnya lentur dan gak ada pentulan mirip korek api. Ketemu tuh di toko yang jual aksesoris cewek. Dan, tau gak berapa harganya? Di bawah 20.000. Sebelum beli, aku pegang-pegang dulu ujung sisirnya untuk memastikan kelenturannya.
Selang beberapa bulan lamanya, aku nyari lagi sisir tipe sama buat ibuku. Soalnya beliau pake sisir yang udah rusak. Nah, kali ini aku udah tau mau beli yang kayak gimana. Tinggal masalah harga. Pertama aku nyari di ITC. Langsung dapet dan beli. Eh, pas mampir ke Toko Sederhana malah ada yg lebih murah, masih di bawah 20k. Jadi sebel sendiri. Emang dasar kalo bandingin harga gak ada titiknya.
Dari sini, aku sedikit ubah kebiasaan. Enggak penting merek apa, kalo bagus, awet, dan enak dipake, udah puas diri ini.

Langganan: Postingan ( Atom )

Featured Post

DATA IN-OUT DUIT

28/9/2015 Kadang di akhir bulan kita bertanya kemana saja uang gaji yang kita terima. Kemana saja perginya uang-uang tadi? Kita hanya tahu...

Iklan Gratis
Memuat

Total Tayangan Halaman

Google
Custom Search

Categories

  • berhenti sejenak (38)
  • film (4)
  • language (9)
  • motivation (4)
  • my culture (2)
  • my friend (2)
  • my mind (49)
  • my observ (40)
  • my resep (1)
  • the world (61)
  • tips (9)
  • tips: berpakaian (3)
  • tips: kesehatan (3)
  • tips: perawatan (1)

My Blog List

Diberdayakan oleh Blogger.

about me

Foto saya
limun
Hello, I'm Limun. I try really hard to fix my own life. You too? Manage my time and my life.
Lihat profil lengkapku

my friend

Archive

  • ► 2025 (2)
    • ► Juni (1)
    • ► Mei (1)
  • ► 2021 (8)
    • ► Desember (1)
    • ► November (3)
    • ► Maret (4)
  • ► 2020 (6)
    • ► Juli (2)
    • ► Juni (4)
  • ► 2019 (17)
    • ► Juni (6)
    • ► Maret (4)
    • ► Februari (7)
  • ▼ 2018 (15)
    • ▼ Oktober (8)
      • Volunteer Asian Games 2018: Uniform Distribution a...
      • Origami For You
      • Am I broke my own self?
      • My First Guest: KAZ
      • Volunteer Asian Games 2018: Job Specific Training ...
      • Volunteer Asian Games 2018: General Training
      • Hey, Future Child!
      • Volunteer Asian Games 2018: NOR
    • ► September (3)
      • Inside Outside
      • Am I Spongebob?
      • Volunteer Asian Games 2018: Mulanya
    • ► Mei (1)
      • 1.000 Perpustakaan Masjid
    • ► April (3)
      • Motor Berhenti
      • What do you feel, Leeteuk?
      • Sisir Korek Api
  • ► 2017 (29)
    • ► Oktober (2)
    • ► September (4)
    • ► Agustus (3)
    • ► Mei (7)
    • ► April (6)
    • ► Maret (1)
    • ► Februari (6)
  • ► 2016 (63)
    • ► Desember (24)
    • ► November (23)
    • ► Oktober (8)
    • ► Juni (4)
    • ► Maret (4)
  • ► 2015 (95)
    • ► Desember (3)
    • ► November (8)
    • ► Oktober (11)
    • ► September (11)
    • ► Juni (3)
    • ► Mei (2)
    • ► April (40)
    • ► Maret (17)
  • ► 2014 (11)
    • ► November (1)
    • ► Oktober (3)
    • ► September (6)
    • ► Februari (1)
  • ► 2012 (16)
    • ► Desember (1)
    • ► Januari (15)
  • ► 2011 (26)
    • ► Desember (3)
    • ► November (3)
    • ► Oktober (2)
    • ► September (3)
    • ► Agustus (1)
    • ► Juli (4)
    • ► Juni (3)
    • ► Mei (7)
  • ► 2010 (10)
    • ► Juni (1)
    • ► April (1)
    • ► Maret (1)
    • ► Januari (7)
  • ► 2008 (1)
    • ► Oktober (1)
AllBlogTools.com Blogger Templates

Latest Posts

  • Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara
    Awalnya saya mencari-cari dimana Skotlandia? Dimana letak negara ini? Kalian tahu dimana? Beberapa tahun kemudian saya tahu dimana letak...
  • WhatsApp Initializing
    Pernah mengalami WhatsApp susah di-instal ulang? Notifnya “initializing” atau apalah ejaan Inggrisnya. Saya pernah mengalami kejadian i...
  • Pekerjaan Suami Saya Cuma Petani
    Kalo lagi kumpul-kumpul bareng teman lama, terutama karena udah pada berkeluarga, pasti ngomongin pekerjaan suami. Beberapa teman bisa ...

Visitors

free counters
Free counters
Copyright 2014 Journey of My Life.
Distributed By My Blogger Themes | Designed By OddThemes