Inside Outside

Pernah pada suatu masa aku begitu antusias dengan dunia luar, dengan setiap hal yang ada di luar lingkunganku. Setiap ada kesempatan untuk pergi jalan-jalan, aku selalu tidak sabar. Tempat baru, orang-orang baru, dan pengalaman baru—walau aku sudah ke tempat yang sama berkali-kali misalnya—dan aku begitu percaya diri.
Lalu datang satu masa dimana semua yang ada di luar sana hanya membuatku terpuruk. Tidak ada tempat bersahabat di luar sana. Tidak ada yang ingin aku lihat. Aku tidak mau kemana-mana. Sudah tidak ada yang menarik bagiku hanya karena apa yang terjadi pada hidupku—kegagalan yang sangat membuatku terpukul dan melabeli diri pernah mengecewakan orang lain.
Kupikir dengan berdiam diri di rumah segalanya akan selesai atau setidaknya beban seseorang akan berkurang. Nyatanya, itu hanya membuatku semakin kehilangan banyak hal. Kemampuan berkomunikasiku menurun, aku takut bertemu orang hanya karena anggapan mereka semua pasti berpikiran buruk tentangku—pengaruh lingkunganku yang merugikan—aku mulai berpikir rendah diri, dan yang sangat kusadari, betapa tidak berkembangnya diri ini.
Dua tahun lebih aku hampir tidak pergi kemana-mana. Berkutat dengan kasur, kamar, dapur (untuk mencari makan), dan laptop. Aku hanya melihat dunia dari layar hape atau TV. Informasi yang kudapat hanya dari dua benda tadi. Aku jarang bicara, hanya tetap mengetik jurnal dan menulis beberapa hal. Tidak ada teman yang benar-benar kuhubungi. Aku seakan jauh dari peradaban.
Datanglah kenangan dan ingatan bagaimana aku dulu tidak takut keluar rumah. Bahkan kalau tersasar, masih bisa bertanya pada orang lain. Aku seakan lupa bagaimana dan kenapa dulu aku begitu antusias setiap keluar rumah. Aku lupa kalau keluar rumah begitu menyenangkan. Aku iri dengan diriku yang dulu, yang berjalan tanpa beban—aku bahkan tidak tahu ini bebanku atau orang lain yang meletakkannya di pundakku. Aku pun mencoba untuk keluar.
Apa aku harus terus di rumah hanya karena dunia saat ini sudah sangat buruk? Panas, polusi, orang-orang yang saling berjalan cepat memakai masker tanpa mempedulikan sekitarnya, dan kendaraan yang bergerak cepat tidak peduli pengguna jalan lain.
Aku tidak ingin menjadi katak di dalam sumur. Urusan tidak akan selesai hanya dengan diam. Jadi, izinkanlah aku untuk keluar, untuk melihat bagaimana matahari bersinar setiap pagi. Bolehkah?
Seperti anak kecil yang baru diajak pergi orang tuanya, aku begitu deg-degan pergi berjalan sendiri menyusuri pusat perbelanjaan. Aku benar-benar belajar dari awal. Setelah berani berjalan sendiri di pusat keramaian, barulah aku mencoba membeli sesuatu di dalam ITC. Mencoba bertanya pada penjaga toko berapa harganya—aku belum berani menawar.
Butuh waktu untuk memecut diri sendiri. Pada satu titik aku pernah hampir kembali tidak mau keluar rumah, tapi aku juga tidak mau kembali ke belakang. Aku berusaha lagi untuk membiasakan diri ke pusat perbelanjaan. Bahkan tanpa membawa uang, hanya ongkos. Aku hanya sedang melatih diri bahwa dunia luar tidak seburuk yang orang lain katakan dan diserap begitu saja oleh kepalaku.
Setahun berlalu, aku mulai berani, walau masih takut dan dag-dig-dug, terutama jika bertemu hal yang baru bagiku. Aku belajar naik kereta dengan kartu tap. Aku belajar naik ojek online. Aku belajar untuk lebih percaya diri dengan apapun yang aku kenakan. Aku belajar banyak hal. Aku berusaha berkomunikasi dengan baik. Bahkan terkadang berpura-pura tidak tahu arah dan bertanya pada satpam hanya untuk melatih diri.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

I really thank you for looking and read my blog. Have a nice day! And always be a good person everyday

0 komentar:

Posting Komentar