Mengingat kemerdekaan, aku teringat cerita ibuku
tentang kakek dan nenekku dari pihak ayah. Aku memanggil mereka ‘engkong’ dan
‘emak’.
Ibuku mengatakan kalau dulu emak awalnya adalah istri
kerabat engkong yang dititipkan kepadanya. Suami emak pergi berperang begitu
lama sampai tak jelas kabarnya apakah masih hidup atau tidak. Engkong yang
sudah punya dua anak memperistri emak yang beranak satu. Dan lahirlah mpok dari
ayahku. Tak lama, suami emak pulang. Engkong dengan baik hati mengembalikannya
pada suami emak. Baru sebentar kumpul kembali, suami emak sudah harus pergi
lagi. Saat itu emak sedang hamil anak dari suaminya yang pertama.
Kabar buruk pun datang, suami emak gugur di medan
perang. Maka, anak mereka lahir tanpa pernah melihat ayahnya. Untuk menghidupi
kedua anaknya dari suami pertama, emak bekerja entah di mana.
Anak perempuan emak dan engkongku yang masih kecil,
kata ibuku, terus menangis mencari ibunya. Maka, buyutku (aku memanggilnya
‘empi’) menyuruh saudaranya mencari emak. Begitu ditemukan bekerja di Jakarta sebagai
pembantu di rumah Belanda (karena itu emak bisa sedikit-sedikit bahasa
Belanda), orang suruhan empi memintanya pulang.
Mendengar cerita langka tentang kakek-nenekku membuatku ingat kata-kata
seorang ibu di TV yang aktif di komunitas bersama veteran. Dia bilang pada masa
itu banyak pejuang yang tidak ada kabarnya, meninggalkan anak dan istri tanpa
jaminan (kayak uang atau harta), atau ada yang meninggalkan istri yang sedang
hamil, tanpa tahu kapan akan kembali. Seperti itulah yang terjadi pada emak.
Dan begitulah emak dan engkong kembali tinggal satu
atap sampai total anak mereka ada 13, dua meninggal, sisa 11 anak.
ABOUT THE AUTHOR
I really thank you for looking and read my blog. Have a nice day! And always be a good person everyday
0 komentar:
Posting Komentar