Mendengar ceritanya, seketika aku terdiam tidak tahu harus bagaimana merespon. Aku tidak bisa menghentikan tangisannya, tapi aku mengerti apa yang dirasakannya.
Hari itu hari kamis. Temanku baru pulang ngisi private. Hatinya sedang dalam suasana yang baik. Dia sudah sholat maghrib, jadi pikirnya, tidak perlu jalan buru-buru.
Dia turun di jalan biasa menuju rumahnya, sekitar satu kilometer lebih. Dia tidak naik ojek. Dia terbiasa jalan dari rumah ke jalan raya tempat angkot lewat. Jalan itu sudah disusurinya hampir delapan tahun. Tapi maghrib itu, jalan yang sangat sudah akrab dengannya menjadi tempat paling menakutkan yang sangat membekas di hati dan pikirannya.
Dia saat itu sedang berjalan pelan lewat di jalan yang memang tidak pernah ada lampu penerang jalan dan selalu sepi. Hanya ada satu rumah yang menghadap ke jalan. Tapi tidak sampai dua puluh langkah, rumah-rumah penduduk sudah berjejer.
Kedua tangannya memegang payung, persiapan sebelum hujan turun karena langit sudah mendung sebelum maghrib. Dia merasakan motor berhenti di belakangnya. Yang dipikirkannya, kalau itu mungkin saudara yang kebetulan juga lewat situ dan akan menawarkan tumpangan, karena itu sering terjadi. Tapi dia mulai merasakan hal aneh. Ada tangan yang mendekat di belakangnya dan semakin dekat ke belakang tubuhnya. Dengan pelan meremas bagian belakang tubuhnya.
Dia yang diam dan tersentak hanya melihat motor si pelaku yang berhelm menjauh di depannya. Tangan kirinya dibiarkan menggantung sambil membawa motor pelan. Terlihat jelas lampu merah motor yang menandakan kalau si pelaku melambatkan lajunya.
Sambil jalan, sampai di rumah, dia masih diam sambil memegang payung dengan kedua tangannya. Masih tidak percaya apa yang terjadi dalam beberapa detik. Masih tidak percaya di jalan yang tidak sepi, hal itu terjadi. Di tengah jalan dia menangis. Perasaannya berubah buruk. Pikirannya mulai tidak jelas dan terus bertanya, "kenapa?" Di rumah, dia menangis. Malam, dia menangis. Bangun di pagi berikutnya, dia menangis.
Aku yang mendengarnya juga tidak percaya. Dia bertanya, apa pakaiannya terlalu menarik perhatian. Tidak, menurutku. Pakaian lebih tertutup dariku. Kerudung juga. Dia berpakaian dengan baik sesuai aturan Islam. Tapi dia masih bertanya dan masih tidak mengerti. Masih terlihat kalau dia takut dan menyalahkan diri sendiri.
Karena kejadian itu, dia tidak turun angkot di jalan sebelumnya. Dia mengambil rute lain. Dia mulai waspada setiap ada suara motor yang berubah pelan. Dia juga tidak berharap akan bertemu saudara yang akan memberikan tumpangan seperti sebelumnya yang sering terjadi. Dia akan kembali berjalan cepat. Dia akan lebih mawas diri. Dia akan membatasi kapan pulang. Benar-benar harus sudah di rumah sebelum gelap.
Aku masih memerhatikannya yang bercucuran air mata. Tapi aku tahu, dia berpikiran positif dan sangat sabar dengan banyak hal.
Hari itu hari kamis. Temanku baru pulang ngisi private. Hatinya sedang dalam suasana yang baik. Dia sudah sholat maghrib, jadi pikirnya, tidak perlu jalan buru-buru.
Dia turun di jalan biasa menuju rumahnya, sekitar satu kilometer lebih. Dia tidak naik ojek. Dia terbiasa jalan dari rumah ke jalan raya tempat angkot lewat. Jalan itu sudah disusurinya hampir delapan tahun. Tapi maghrib itu, jalan yang sangat sudah akrab dengannya menjadi tempat paling menakutkan yang sangat membekas di hati dan pikirannya.
Dia saat itu sedang berjalan pelan lewat di jalan yang memang tidak pernah ada lampu penerang jalan dan selalu sepi. Hanya ada satu rumah yang menghadap ke jalan. Tapi tidak sampai dua puluh langkah, rumah-rumah penduduk sudah berjejer.
Kedua tangannya memegang payung, persiapan sebelum hujan turun karena langit sudah mendung sebelum maghrib. Dia merasakan motor berhenti di belakangnya. Yang dipikirkannya, kalau itu mungkin saudara yang kebetulan juga lewat situ dan akan menawarkan tumpangan, karena itu sering terjadi. Tapi dia mulai merasakan hal aneh. Ada tangan yang mendekat di belakangnya dan semakin dekat ke belakang tubuhnya. Dengan pelan meremas bagian belakang tubuhnya.
Dia yang diam dan tersentak hanya melihat motor si pelaku yang berhelm menjauh di depannya. Tangan kirinya dibiarkan menggantung sambil membawa motor pelan. Terlihat jelas lampu merah motor yang menandakan kalau si pelaku melambatkan lajunya.
Sambil jalan, sampai di rumah, dia masih diam sambil memegang payung dengan kedua tangannya. Masih tidak percaya apa yang terjadi dalam beberapa detik. Masih tidak percaya di jalan yang tidak sepi, hal itu terjadi. Di tengah jalan dia menangis. Perasaannya berubah buruk. Pikirannya mulai tidak jelas dan terus bertanya, "kenapa?" Di rumah, dia menangis. Malam, dia menangis. Bangun di pagi berikutnya, dia menangis.
Aku yang mendengarnya juga tidak percaya. Dia bertanya, apa pakaiannya terlalu menarik perhatian. Tidak, menurutku. Pakaian lebih tertutup dariku. Kerudung juga. Dia berpakaian dengan baik sesuai aturan Islam. Tapi dia masih bertanya dan masih tidak mengerti. Masih terlihat kalau dia takut dan menyalahkan diri sendiri.
Karena kejadian itu, dia tidak turun angkot di jalan sebelumnya. Dia mengambil rute lain. Dia mulai waspada setiap ada suara motor yang berubah pelan. Dia juga tidak berharap akan bertemu saudara yang akan memberikan tumpangan seperti sebelumnya yang sering terjadi. Dia akan kembali berjalan cepat. Dia akan lebih mawas diri. Dia akan membatasi kapan pulang. Benar-benar harus sudah di rumah sebelum gelap.
Aku masih memerhatikannya yang bercucuran air mata. Tapi aku tahu, dia berpikiran positif dan sangat sabar dengan banyak hal.